Pencarian

TERANSLIT

Sabtu, 12 Februari 2011

Soal Filsafat Hukum Islam




  1. Jelaskan sejelas-jelasnya tentang
    a.Cara istinbath hukum islam !
    b.Sumber-sumber hukum dasar islam !
  2. Jelaskan kelebihan dan kekurangan filsafat
  3. Jelaskan kedudukan filsafat dalam islam

     

     
    JAWABAN

    1.  a.tinbat (الإستنباط) adalah daya usaha membuat keputusan hukum syarak berdasarkan dalil-dalil al-Quran atau Sunnah yang sedia ada.
Kelayakan


Orang yang layak berstinbat ialah para fuqaha (ulama fiqh), yakni mereka yang benar-benar mengetahui dan menguasai kaedah-kaedahnya. Mereka dituntut untuk menguasai sumber-sumber hukum Islam, iaitu: al-Quran, Sunnah, Ijma', pendapat (aqwal) Sahabat Nabi, Qiyas, Masalih mursalah, dan lain-lain. dan mendapat perstujuan dari ulama lainnya karena pertimbangan ilmu yang ada pada fuqaha tersebut.
[sunting]
Contoh Istinbat


Potong tangan bagi pencuri disebut dalam al-Quran yang bermaksud:


Dan orang lelaki Yang mencuri dan orang perempuan Yang mencuri maka (hukumnya) potonglah tangan mereka sebagai satu balasan Dengan sebab apa Yang mereka telah usahakan, (juga sebagai) suatu hukuman pencegah dari Allah. dan (ingatlah) Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. (al-Maidah: 38)


Juga hadis Nabi s.a.w., bermaksud:


"… bahawa Nabi s.a.w memotong (tangan pencuri) yang mencuri baju besi berharga tiga dirham." (Bukhari Muslim)


Merujuk kepada hadis ini di atas Saiyidina Abu Bakar r.a. melakukan hukum potong tangan bagi orang yang mencuri senilai lima dinar.


Abu Hurairah dan Said berkata : "Tangan pencuri dipotong jika mencuri 5 dirham."


Sebilangan fuqaha tabi'in, Malik, Syafi'i, dan Ahmad. mengikuti pendapat ini. Ibnu Mas'ud tidak memotong tangan pencuri jika kurang dari 10 dirham (1 dirham 7/10 dinar, 1 dinar 4,25 gram). Sebahagian ulama Kufah juga mengikuti pendapat ini.


Berdasarkan perkara di atas, para fuqaha dapat menetapkan bahawa seorang pencuri yang sabit kesalahannya akan dipotong tangannya dengan syarat:
Sampai nisab (5 dirham, fuqaha berbeza pendapat dalam menentukan kadarnya).
Barang tersebut dicurinya di tempat simpanan tertentu (lemari, laci, bank, dan lain-lain)
Bukan barang yang tercicir atau tertinggal.
b.
Sumber-sumber hukum dasar islam
sumber hukum islam yang akan saya jelaskan adalah:
  • Al-Qur'an
  • Hadits
  • IJMA
  • FATWA SAHABAT
  • Qyas
  • ISTIHSAN
  • URF (Tradisi)
  • MASLAHAH MURSALAH
  • DZARI'AH
  • ISTISHAB

 
Hukum menurut ulama usul adalah firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf , baik itu berupa tuntutan, pilihan ataupun berupa hukum wadh'i.

 
Sumber-sumber hukum islam (mashadir al-syari'at) adalah dalil –dalil syari'at yang darinya hukum syari'at digali.
Al Qur'an
1. Definisi Al Qur'an Dan Akar kata al Qur'an
Allah Swt. memilih beberapa nama bagi wahyu-Nya, yang berbeda sekali dari bahasa yang biasa digunakan masyarakat arab untuk penamaan sesuatu. Nama-nama itu mengandung makna yang berbias dan memiliki akar kata 1. Diantara beberapa nama itu yang paling terkenal ialah al Kitab dan al Qur'an.
Wahyu dinamakan al Kitab yang menunjukkan pengertian bahwa wahyu itu dirangkum dalam bentuk tulisan yang merupakan kumpulan huruf-huruf dan menggambarkan ucapan (lafadz) adapun penamaan wahyu itu dengan al Qur'an memberikan pengertian bahwa wahyu itu tersimpan didalam dada manusia mengingat nama al Qur'an sendiri berasal dari kata qira'ah (bacaan) dan didalam qira'ah terkandung makna : agar selalu diingat,. Wahyu yang diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas itu telah ditulis dengan sangat hati-hati agar terpelihara secara ketat, serta untuk mencegah kemungkinan terjadinya manipulasi oleh orang-orang yang hendak menyalah artikan atau usaha mereka yang hendak mengubahnya. Tidak seperti kitabkitab suci lain dimana wahyu hanya terhimpun dalam bentuk tulisan saja atau hanya dalam hafalan saja, tetapi penulisan wahyu yang satu ini didasarkan pada isnad yang mutawatir (sumber-sumber yang tidak diragukan kebenarannya) dan isnad yang mutawatir itu mencatatnya dengan jujur dan cermat.
Secara etimologis, Al Qur'an berasal dari kata "qara'a", yaqra'u, qiraa'atan atau qur'aanan yang berarti mengumpulkan (al jam'u) dan menghimpun (al dlammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur. Dikatakan Al Qur'an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan. Allah berfirman :

 

 
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
(al Qiyamah [75]:17-18).

 
Qur'anan dalam hal ini berarti juga qira'atahu (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tasrif, konjugasi) "fu'lan" dengan vocal "u" seperti "gufran" dan "syukran". Kita dapat mengatakan qara'tuhu, qur'an, qira'atan wa qur'anan, artinya sama saja yakni maqru' (apa yang dibaca) atau nama Qur'an (bacaan). Qur'an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w., sehingga Qur'an menjadi nama khas kitab itu, sebagai nama diri. Dan secara gabungan kata itu dipakai untuk nama qur'an secara keseluruhan, begitu juga untuk penamaan ayat-ayatnya. Maka jika kita mendengar orang membaca ayat Qur'an, kita boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca Qur'an.

 
204. Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat[591].

 
[591] Maksudnya: jika dibacakan Al Quran kita diwajibkan mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri, baik dalam sembahyang maupun di luar sembahyang, terkecuali dalam shalat berjamaah ma'mum boleh membaca Al Faatihah sendiri waktu imam membaca ayat-ayat Al Quran. (Al-A'raf
[7]:204).

 

 
Sebagian Ulama berpendapat bahwa kata Qur'an itu pada mulanya tidak berhamzah sebagai sebuah kata jadian. Ada analisa penyebutan tersebut kemungkinan adalah karena Qur'an dijadikan sebagai suatu nama bagi kalam yang diturunkan kepada Nabi s.a.w., dan bukan merupakan kata jadian, sementara yang lain berpendapat berbeda. Untuk itulah ada baiknya jika kita mereferensi beberapa pendapat ulama tentang asal kata Qur'an :

 
a. Asy-Syafi'i, berpendapat bahwa kata qur'an ditulis dan dibaca tanpa hamzah (Quran) yang tidak diambil dari kata lain (Musytaq). Ia adalah nama Khusus yang dipakai untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana kitab Injil dan Taurat dipakai khusus untuk kitab-kitab Tuhan yang diberikan kepada Nabi Isa dan Musa. Lafadz tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.. jadi menurut asy Syafi'i, lafadz tersebut bukan berasal dari akar kata qa-ra-a (membaca), sebab kalau akar katanya qa-ra-a, maka tentu setiap sesuatu yang dibaca dapat dinamai al Qur'an, sama halnya dengan nama Taurat dan Inzil.

 
b. Al-Farra' dalam kitabnya "Ma'anil Qur'an" berpendapat bahwa lafadz qur'an tidak memakai hamzah, dan diambil (musytaq) dari kata qara'in jamak dari qarinah, yang berarti indikator (petunjuk). Hal ini disebabkan karena sebagian ayat-ayat al Qur'an itu serupa satu sama yang lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya merupakan indikator dari apa yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa. Dan huruf "nun" pada akhir lafadz al Qur'an adalah huruf asli, bukan huruf tambahan.

 
c. Al Asy'ari berpendapat bahwa lafadz al Qur'an tidak memakai hamzah dan diambil dari kata qarana, yang berarti menggabungkan. Hal ini disebabkan karena surat-surat dan ayat ayat al Qur'an dihmpun dan digabungkan dalam satu mushaf. Tiga pendapat diatas menurut Subhi as Shalih adalah beberapa contoh dari Ulama yang berpendapat bahwa lafadz al Qur'an tanpa huruf hamzah ditengahnya jauh dari kaidah pemecahan kata (isytiqaq) dalam bahasa Arab. Sedangkan para ulama' yang berpendapat bahwa lafadz al Qur'an ditulis dengan tambahan hamzah ditengahnya adalah :

 
  1. Az Zajjaj, lafadz al Qur'an ditulis dengan huruf hamzah ditengahnya berdasarkan pola kata (wazn) fu'lan, lafadz tersebut pecahan (musytaq) darai akar kata qar'un yang berarti jam'un, Seperti kalimat quri'al ma'u fil-haudi, yang berarti : air dikumpulkan dalam kolam. Jadi dalam kalimat itu kata qar'un bermakna jam'un, yang dalam bahasa Indonesia bermakna kumpul, atau menhimpun. Hal ini karena al Qur'an merupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab suci sebelumnya.
  2. Al Lihyani, lafadz al Qur'an ditulis dengan huruf ditengahnya berdasarkan polakata ghufran dan merupakan pecahandari akar kata qa-ra-a yang bermakna tala(membaca).

 


 

 
Secara terminologi al Qur'an menurut beberapa ulama adalah:
a. Ulama Ushul fiqh,
Artinya:
"Kalam Allah9 yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf , dimulai dari surat al fatihah dan ditutup dengan surat an Nas.

 
b. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan al Qur'an sebagai firman Allah yang diturunkan melalui ruhul amin (jibril) kepada Nabi Muhammad saw. Dengan bahasa Arab, isinya dijamin kebenarannya, dan sebagai hujjah kerasulannya, undang-undang bagi seluruh manusia dan petunjuk dalam beribadah serta dipandang ibadah dalam membacanya, yang terhimpun dalam mushaf yang dimulai dari surat al fatihah dan diakhiri dengan surat an Nas yang diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir

 
c. Syaikh Muhammad Abduh mendefinisikan al Quran sebagai kalam mulia yang
diturunkan oleh allah kepada Nabi yang paling sempurna (Muhammad) ajarannya
mencakup keseluruha ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulai yang
essensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berfjiwa suci dan berakal cerdas.
Ketiga definisi tersebut sebenarnya saling melengkapi. Definisi pertama lebih focus pada subyek pembuat wahyu, Allah dan obyek penerima wahyu yakni rasulullah Muhammad saw, proses penyampaiannya kepada umat secara mutawatir, membacanya dikategorikan sebagai ibadah. Definisi kedua melengkapi penjelasan cara turunnya melalui malaikat Jibril, penegasan tentang awal dan akhir surat. Dan definisi ketiga berkaitan dengan isi dan kriteria bagi orang ingin memahaminya. Dari definisi tersebut dapat dinalisa bahwa al Qur'an memiliki unsur-unsur Yang menjadi ciri khas bagi al Qur'an, yakni :

 
Al Qur'an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad Saw. Tidak dinamakan al Qur'an seperti Zabur, Taurat dan Injil. Ketiga kitab tersebut memang termasuk kalam Allah tapi tidak diturunkan kepada nabi Muhammad sehingga tidak disebut al qur'an. Kehujjahan al Qur'an.

 

 
Hadits

 
Hadits (bahasa Arab: الحديث, ejaan KBBI: Hadis) adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.

 
Etimologi
Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad.
Menurut istilah ulama ahli hadits,[siapa?] hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya. Sehingga, arti hadits di sini semakna dengan sunnah.
Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.[1] Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif,[2] maka kata tersebut adalah kata benda.[3]

 
Struktur Hadits
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).
Contoh:Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (Hadits riwayat Bukhari)

 
Sanad
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah
Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu'bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW

 
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.

 
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah :
Keutuhan sanadnya
Jumlahnya
Perawi akhirnya

 
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.

 
Matan
Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"

 
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah:
Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).

 
Klasifikasi Hadits
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan)

 
Berdasarkan ujung sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu' :
Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya)
Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama rasulullah" maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'.
Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus). Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".

 
Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi'in dimana hal ini sangat membantu dalam area perdebatan dalam fikih ( Suhaib Hasan, Science of Hadits).

 
Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya.
Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah SAW
Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
Hadits Munqati' . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).

 
Berdasarkan jumlah penutur
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.
Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.

 
Berdasarkan tingkat keaslian hadits
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da'if dan maudu'
Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Sanadnya bersambung;
Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits .
Hadits Hasan, bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu'allaq, mudallas, munqati' atau mu'dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
Hadits Maudu', bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.

 
Jenis-jenis lain
Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:
Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya dirwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.
Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tepercaya/jujur.
Hadits Mu'allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut Hadits Ma'lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu'tal (Hadits sakit atau cacat)
Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan
Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi)
Hadits gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya
Hadits Syadz, Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang tepercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.
Hadits Mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi Hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya

 
  • Periwayat Hadits yang diterima oleh Muslim
  • Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H)
  • Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H)
  • Sunan Abu Dawud, disusun oleh Abu Dawud (202-275 H)
  • Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H)
  • Sunan an-Nasa'i, disusun oleh an-Nasa'i (215-303 H)
  • Sunan Ibnu Majah, disusun oleh Ibnu Majah (209-273).
  • Musnad Ahmad, disusun oleh Imam Ahmad bin Hambal
  • Muwatta Malik, disusun oleh Imam Malik
  • Sunan Darimi, Ad-Darimi

 

 

 
Periwayat Hadits yang diterima oleh Syi'ah

 
Muslim Syi'ah hanya mempercayai hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad saw, melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi'ah tidak menggunakan hadits yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum Syi'ah diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, istri Muhammad saw, yang melawan Ali pada Perang Jamal.

 
Ada beberapa sekte dalam Syi'ah, tetapi sebagian besar menggunakan:
Ushul al-Kafi
Al-Istibshar
Al-Tahdzib
Man La Yahduruhu al-Faqih

 

 
Pembentukan dan Sejarahnya
Hadits sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku Hadits. Itulah pembentukan Hadits.

 
Masa Pembentukan Al Hadist
Masa pembentukan Hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja.

 
Masa Penggalian
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi'in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar Al Hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.

 
Masa Penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi'in yang mulai menolak menerima Al Hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari'at dan 'aqidah dengan munculnya Al Hadits palsu. Para sahabat dan tabi'in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada Al Hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa Al Hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi'in memerintahkan penghimpunan Al Hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan Al Hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan Al Hadits marfu' dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu'.

 
Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan Al Hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami Hadits sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan Hadits dan memisahkan kumpulan Hadits yang termasuk marfu' (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu' (berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan Al Hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud diatas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas Al Hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan Hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai Al Hadits. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al Hadits seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab Al Hadits abad 4 H.

 
Kitab-kitab Hadits
Berdasarkan masa penghimpunan Al Hadits

 
Abad ke 2 H
Beberapa kitab yang terkenal :
Al Muwaththa oleh Malik bin Anas
Al Musnad oleh [Ahmad bin Hambal]] (tahun 150 - 204 H / 767 - 820 M)
Mukhtaliful Hadist oleh As Syafi'i
Al Jami' oleh Abdurrazzaq Ash Shan'ani
Mushannaf Syu'bah oleh Syu'bah bin Hajjaj (tahun 82 - 160 H / 701 - 776 M)
Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (tahun 107 - 190 H / 725 - 814 M)
Mushannaf Al Laist oleh Al Laist bin Sa'ad (tahun 94 - 175 / 713 - 792 M)
As Sunan Al Auza'i oleh Al Auza'i (tahun 88 - 157 / 707 - 773 M)
As Sunan Al Humaidi (wafat tahun 219 H / 834 M)
Dari kesembilan kitab tersebut yang sangat mendapat perhatian para 'lama hanya tiga, yaitu Al Muwaththa', Al Musnad dan Mukhtaliful Hadist. Sedangkan selebihnya kurang mendapat perhatian akhirnya hilang ditelan zaman.

 
Abad ke 3 H
Musnadul Kabir oleh Ahmad bin Hambal dan 3 macam lainnya yaitu Kitab Shahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad yang selengkapnya :
Al Jami'ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
Al Jami'ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)

 
Imam Malik imam Ahmad

 

 
Abad ke 4 H
Al Mu'jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
Al Mu'jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
Al Mu'jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
At Taqasim wal Anwa' oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)

 
Abad ke 5 H dan selanjutnya
  • Hasil penghimpunan
    • Bersumber dari kutubus sittah saja
    • Jami'ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M)
    • Tashiful Wushul oleh Al Fairuz Zabadi (? - ? H / ? - 1084 M)
    • Bersumber dari kkutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami'ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774 H / 1302-1373 M)
    • Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami'ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505 M)
  • Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)
  • Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya :
    • Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
    • As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M)
    • Al Imam oleh Ibnul Daqiqil 'Id (625-702 H / 1228-1302 M)
    • Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (? - 652 H / ? - 1254 M)
    • Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
    • 'Umdatul Ahkam oleh 'Abdul Ghani Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M)
    • Al Muharrar oleh Ibnu Qadamah Al Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M)
  • Kitab Al Hadits Akhlaq
    • At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
    • Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
  • Syarah (semacam tafsir untuk Al Hadist)
    • Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
    • Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
    • Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu'allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)
    • Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh As Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)
    • Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash Shan'ani (wafat 1099 H / 1687 M)
    • Mukhtashar (ringkasan)
    • Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-1233 M)
    • Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
  • Lain-lain
    • Kitab Al Kalimuth Thayyib oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi hadits-hadits tentang doa.
    • Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M) berisi Al Hadits yang dipandang shahih menurut syarat Bukhari atau Muslim dan menurut dirinya sendiri.

 
Beberapa istilah dalam ilmu hadits
Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu hadits antara lain:
  • Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan Hadits Bukhari dan Muslim
  • As Sab'ah berarti tujuh perawi yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa'i dan Imam Ibnu Majah
  • As Sittah maksudnya enam perawi yakni mereka yang tersebut diatas selain Ahmad bin Hambal(Imam Ibnu Majah)
  • Al Khamsah maksudnya lima perawi yaitu mereka yang tersebut diatas selain Imam Bukhari dan Imam Muslim
  • Al Arba'ah maksudnya empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim
  • Ats Tsalatsah maksudnya tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.

 
Catatan kaki
  • "Hadith," Encyclopedia of Islam.
  • Lisan al-Arab, by Ibn Manthour, vol. 2, pg. 350; Dar al-Hadith edition.
  • al-Kuliyat by Abu al-Baqa' al-Kafawi, pg. 370; Al-Resalah Publishers. This last phrase is quoted by al-Qasimi in Qawaid al-Tahdith, pg. 61; Dar al-Nafais.

 

 

 

 

 
IJMA

Obyek ijma` ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur`an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu`amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur`an dan al-Hadits

 
1.Definisi ijma
Ijma' adalah salah satu dalil syara' yang memiliki tingkat kekuatan argumentative setingkat dibawah dalil-dalil nash (Al-Qur'an & Hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur'an dan Hadits, yang dapat dijadikan pedomoman dalam menggali hokum-hukum syara;
Ijma' (الِإجْمَاعُ) adalah mashdar (bentuk) dari ajma'a (أَجْمَعَ) yang memiliki dua makna:
1)   Tekad yang kuat (العَزْمُ المُؤَكَّدُ) seperti: أَجَمَعَ فُلَانٌ عَلَى سَفَرٍ  (sifulan bertekad kuat untuk melakukan perjalanan).
2)      Kesepakatan (الاتِّفَاقُ) seperti: (أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى كَذَا) kaum muslimin bersepakat tentang sesuatu.
Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:
اتِّفَاقُ مُجْتَهِدِيْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ وَفَاتِهِ فِيْ عَصْرِ مِنَ العُصُوْرِ عَلَى أَمْرٍ مِنَ الأُمُوْرِ
"kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula". (lihat Irsyadul Fuhul: 71).
Menurut definisi diatas, kandungan dasar pokok Ijma' antara lain:
1)      Kesepakatan (الاتِّفَاقُ) artinya kesatuan pendapat, baik ditujukan oleh perkataan atau dengan sikap.
2)   Para Mujtahid (المُجْتَهِدُوْنَ). Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki oleh orang yang alim (berilmu) untuk mngistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya. Sehingga yang dituntut dari seorang mujtahid adalah pengarahan kemampuan secara maksimal dalam menetapkan ketentuan hukum.
3)      Ummat Muhammad yang dimaksud adalah ummat ijabah (ummat yang menerima seruan dakwah Nabi saw).
4)      Setelah wafatnya Nabi saw, sehingga kesepakatan kaum muslimin ketika beliau hidup tidak disebut ijma'.
5)      Didalam satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan saja.
6)      Pada perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar'i atau perkara-perkara yang bukan syar'i tetapi memiliki hubungan dengan syari'at (lihat, Ibhaj fi Syarh Minhaj: 2/349).

 
2. Dasar hukum ijma`

Dasar hukum ijma\\\' berupa aI-Qur\\\'an, al-Hadits dan akal pikiran.

a. Al-Qur`an

Allah SWT berfirman:



59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

 
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.

Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.


 

 

 
FATWA SAHABAT
Sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW, yang langsung menerima risalahnya, dan mendengar langsung penjelasan syari'at dari beliau sendiri. Oleh karena itu jumhur Fuqaha menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesudah dalil-dalil nash.

 
Fatwa Para Sahabat Lebih Layak Untuk Diikuti
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Boleh berfatwa dengan menggunakan atsar/riwayat dari para ulama Salaf dan fatwa para sahabat. Dan itu merupakan fatwa yang lebih layak untuk diambil daripada pendapat-pendapat ulama muta'akhirin(belakangan) serta fatwa mereka. Karena sesungguhnya kedekatan mereka terhadap kebenaran itu tergantung dengan kedekatan masa mereka dengan masa Rasulshalawatullaahi wa salaamuhu 'alaihi wa 'ala aalihi. Sehingga fatwa-fatwa para Sahabat itu lebih utama untuk diikuti daripada fatwa para tabi'in.
Begitu pula fatwa para tabi'in itu lebih utama diambil daripada fatwa tabi'ut tabi'in, demikianlah seterusnya. Oleh karena itu setiap kali suatu masa itu semakin dekat dengan masa Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam maka kebenaran yang ada pun juga semakin mendominasi. Inilah hukum yang berlaku bila ditinjau dari tingkatan orang, bukan menurut tinjauan perindividu…" (dinukil dari Al Bayyinaat As Salafiyah 'ala Anna Aqwaala Shahabah Hujjah Syar'iyah karya Ahmad Salam, hal. 11)

 
Macam-Macam Perkataan Sahabat
Perkataan atau fatwa para sahabat itu dapat dikategorikan menjadi 4:
  1. Masalah yang disampaikan bukan medan akal. Maka hukum ucapan mereka adalah marfu' (bersumber dari Nabi). Ucapan itu dapat dipakai untuk berdalil dan bisa dijadikan hujjah/argumen. Ia bisa juga dikategorikan dalam hadits yang marfu' dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam namun dari sisi periwayatan makna saja (bukan lafadznya). Akan tetapi jika sisi ini yang diambil maka ucapan mereka itu tidak boleh disandarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan secara tegas dinyatakan bahwa ucapan itu adalah sabda Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam.
  2. Perkataan sahabat yang tidak diselisihi oleh sahabat yang lain. Maka perkataan sebagian mereka tidak bisa dijadikan sebagai argumen untuk memaksa sahabat yang lain untuk mengikutinya. Dan mujtahid sesudah mereka tidak boleh taklid kepada sebagian mereka saja. Akan tetapi yang harus dilakukan dalam permasalahan itu adalah mencari pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil yang ada.
  3. Perkataan sahabat yang populer dan tidak bertentangan dengan perkataan sahabat lainnya, maka ini termasuk sesuatu yang dihukumi sebagai ijma' menurut mayoritas para ulama.
  4. Selain ketiga kategori di atas. Maka inilah yang kita maksudkan dalam pembicaraan ini. Yaitu apabila ada perkataan sahabat yang tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya, tidak populer, atau tidak diketahui apakah ucapannya itu populer atau tidak, sedangkan hal yang disampaikan adalah sesuatu yang bisa dijangkau oleh akal maka para imam yang empat dan mayoritas umat Islam menganggapnya sebagai argumen/hujjah, berbeda dengan pendapat kaum filsafat yang menyimpang.

 
Para ulama memberikan syarat agar ucapan sahabat bisa dipakai untuk berhujjah dengan beberapa syarat yaitu:
  1. Dalam persoalan ijtihadiyah, adapun ucapan mereka dalam hal yang tidak boleh berijtihad maka ia dihukumi marfu' (bersumber dari Nabi)
  2. Tidak ada seorangpun sahabat yang menyelisihi pendapatnya. Karena apabila ucapan sahabat tidak diselisihi oleh sahabat yang lain maka secara otomatis itu menunjukkan bahwa yang diucapkan oleh sahabat tadi adalah benar, sehingga sahabat yang lain mendiamkannya. Dan apabila ternyata ada perselisihan dengan sahabat lainnya maka seorang mujtahid harus berijtihad untuk menguatkan salah satu pendapat mereka.
  3. Selain itu pendapat tersebut tidak boleh bertentangan dengan nash/dalil yang tegas dari al-Qur'an atau hadits. Poin kedua dan poin ketiga adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena apabila ada seorang sahabat yang menentang nash maka sudah pasti akan ada sahabat lain yang menentang pendapatnya itu.
  4. Fatwa tersebut sudah sangat populer di kalangan para sahabat sehingga tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya. Apabila suatu pendapat termasuk kategori ini maka dia tergolong ijma'/kesepakatan yang harus diikuti menurut pendapat jumhur ulama.
  5. Tidak boleh bertentangan dengan qiyas/analogi yang benar. Perlu dicatat bahwasanya ucapan sahabat yang telah disepakati oleh para imam untuk dijadikan sebagai hujjah tidak mungkin bertentangan dengan analogi. Akan tetapi jika (seandainya !!) memang ada ucapan mereka yang bertentangan dengan analogi maka kebanyakan ulama memilih untuk tawaquf/diam. Karena tidak mungkin seorang sahabat menyelisihi analogi berdasarkan ijtihad dirinya sendiri. Walaupun begitu, menurut mereka perkataan sahabat yang bertentangan dengan analogi itu tetap harus didahulukan daripada analogi. Karena ucapan sahabat adalah nash/dalil tegas. Sedangkan dalil tegas harus didahulukan daripada analogi !! (lihatMa'alim Ushul Fiqih 'inda Ahlis Sunnah wal Jama'ah, DR. Muhammad bin Husein Al Jizani hafizhahullah, hal. 222-225)

 
Lihatlah sikap para ulama, mereka lebih mendahulukan ucapan seorang sahabat yang bertentangan dengan analogi daripada pendapat yang dibangun di atas analogi semata !! Itu adalah bukti bahwa mereka benar-benar menghormati dan memuliakan para sahabat.

 
Maka sekarang kita akan bertanya kepada orang-orang yang berupaya menjatuhkan martabat para sahabat di mata kaum muslimin: Lalu fatwa siapakah yang akan kalian ambil jika para sahabat saja sudah kalian caci maki ?! laa haula wa laa quwwata illa billaah.

 
Tidakkah mereka merasa cukup dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,"Barang siapa yang mencela para sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan laknat dari seluruh umat manusia." (Ash Shahihah: 234) Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, "Apabila disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah." (Ash Shahihah: 24) Duhai para tukang cela, tutuplah mulut-mulut kalian, sebelum kematian menjemput dan tanah kuburanlah yang akan menyumpal mulut-mulut kalian yang kotor itu !!!

 

 
Qyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur'an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur'an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:

 
"Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)

 
Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.

 
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:

 
  1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur'an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
  2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
  3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur'an dan hadits.

 
Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar'i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma' dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar'i.

 
Diantara ayat Al Qur'an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:

 

 

 
"Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)

 
Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk 'mengambil pelajaran', kata I'tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi 'i'tibar dan qiyas' memiliki pengertian melewati dan melampaui.

  
 
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)

 
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan 'kembali kepada Allah dan Rasul' (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma'. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata 'qiyas'. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma' menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang 'kalâlah' kemudian ia berkata: "Saya katakan (pengertian) 'kalâlah' dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan 'kalâlah' adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak". Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur'an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara'. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara' yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara' dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.[24]

 
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
  1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
  2. Fara' (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
  3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar'i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara'.
  4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.

 

 
ISTIHSAN

 
Yang dikehendaki Istihsan adalah suatu kondisi yang itu berada di tengah-tengah di antara dua ketentuan. Seolah-olah jika dilihat dari satu sisi, maka hukum yang lebih cocok adalah A, tetapi jika dilihat dari sisi yang lain lagi, maka kelihatan hukumnya yang lebih sesuai adalah B.

 
Di dalam bahasa ulama, bahwa Istihsan itu adalah: mutarajidayni bayna ashlayni, yaitu adanya kemungkinan bisa kembali kepada dua sumber hukum yang berbeda. Misalkan ada suatu kasus yang jika diqiyaskan kepada suatu ayat, maka hukumnya adalah haram, tetapi jika diqiyaskan dengan ayat yang lain lagi, maka hukumnya menjadi berbeda lagi. Dalam kasus ini, tidak ada ayat Alquran yang jelas-jelas menunjukkan, juga tak ada Hadis ataupun Ijma' ulama yang menunjukkan itu, Qiyas pun ada dua kemungkinan. Sehingga dalam kasus seperti ini digunakanlah Istihsan.

 
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini, yaitu apakah Istihsan (dari kata hasan) itu layak atau tidak layak dijadikan sebagai ketentuan (sumber) hukum seperti halnya Alquran, Hadis, Ijma', dan Qiyas. Mayoritas ulama memakai Istihsan sebagai sumber hukum, sementara pada Mazhab Syafi'i tidak menerima Istihsan untuk digunakan sebagai sumber hukum.

 
Istihsan merupakan suatu kondisi yang berada di antara dua dalil. Berkaitan dengan hal ini, diriwayatkan bahwa pada masa kekhalifahan Sayyidina Umar ibn Khattab ada seseorang yang karena begitu marahnya terhadap istrinya hingga mengeluarkan ucapan, "Anti thaaliqun tsalaatsan" (Aku menthalaq/mencerai tiga kepadamu). Dari sisi tekstual, ketika di zaman Rasulullah tak pernah ada thalaq (cerai) yang dihukumi kecuali hanya satu kali thalaq (sekali ucapan thalaq, maka dihitung thalaqnya itu adalah satu). Bahkan pada masa kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar, ketentuan thalaq satu tersebut masih dipertahankan. Jika ada yang mengatakan bahwa ia menthalaq seribu kali pun (dalam satu kali ucapan), maka tetap dianggap thalaqnya hanya satu.

 
Selama dua tahun awal masa kekhalifahan Sayyidina Umar ibn Khattab, ketentuan thalaq itu hanya satu masih tetap dipertahankan. Tetapi pada tahun ketiga masa kekhalifahan Sayyidina Umar ini, maka terjadilah peristiwa thalaq tiga secara sekaligus tersebut (thalaq tiga dalam sekali ucapan). Karena begitu mudahnya orang ketika itu mengucapkan cerai yang mungkin hanya karena persoalan yang biasa-biasa saja, maka setelah kejadian tersebut, Sayyidina Umar akan langsung menghukumi thalaq tiga jika ada orang yang mengucapkan "Aku menthalaqmu tiga kali".

 
Kondisi sebenarnya lebih dekat kepada dua persoalan, yaitu: Pertama, bahwa kalimat cerai adalah aqad, yaitu sama halnya dengan nikah. Sehingga seharusnya thalaq diqiyaskan atau lebih disamakan dengan aqad yang aqad itu bukan persoalan logika, melainkan persoalan tekstual yang ditentukan oleh Rasulullah. Ketentuan Rasulullah adalah, bahwa beliau tak pernah menjatuhkan (menghukumi) thalaq lebih dari sekali berapapun yang diucapkan dalam sekali pengucapan thalaq. Sehingga kalimat "Aku menthalaqmu tiga kali" lebih dekat kepada persoalan aqad, sehingga harus mengikuti teks, karena aqad adalah teks yang ditetapkan oleh syari' (yaitu Allah dan Rasul-Nya), sehingga keputusannya seharusnya satu dalam sekali ucapan, walaupun diucapkan menthalaq tiga kali.

 
Kedua, pada sisi yang lain, thalaq (cerai) lebih disamakan kepada ayman (sumpah) dan nuzhur. Ucapan "kamu saya cerai" sama halnya mengucapkan sumpah "wallaahi, kamu saya cerai", atau paling tidak sama halnya dengan nazar. Kalau nazar, maka tergantung kepada jumlah thalaq dari yang diucapkannya itu. Kalau dia bersumpah dan bernazar tiga, maka jatuhlah thalaq tiga seperti yang dimaksud dari ucapannya itu. Sehingga, orang yang mengucapkan "Aku thalaq kamu tiga kali" maka berada pada dua dinding ini (ma baynal amrayni). Secara logika lebih dekat kepada yang pertama (aqad), tetapi ternyata Sayyidina Umar mengambil yang kedua (yaitu ayman/sumpah) walaupun lebih jauh dibandingkan yang pertama.

 
Menentukan yang seperti ini, jika dihukumi satu, maka para ulama tidak berbeda pendapat, karena hal tersebut adalah keputusan yang benar. Tetapi ketika ditetapkan tiga, maka dalilnya karena Istihsan. Hal ini di antara sekian banyak contoh-contoh Istihsan yang dilakukan oleh para ulama yang ada teksnya tetapi tidak persis.

 
Pertimbangan-pertimbangan seperti ini muncul juga pada kemudian hari dengan istilah sumber hukum Islam yang kelima, yaitu al-mashalih (kemaslahatan). Kareba Istihsan secara prinsipnya berasal dari kata hasan, yang artinya baik yang itu identik dengan maslahah, yang artinya juga kebaikan.

 

 
URF (Tradisi)
Urf adalah tradisi yang ada yang dijadikan sebagai pegangan hukum untuk melakukan sesuatu. Urf bisa dijadikan pegangan hukum selama urf tidak bertentangan dengan al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma' & Qiyas.

 

 
    Sebagai contoh tahlilan orang meninggal adalah tradisi di Indonesia. Selama tidak dibuat dari hasil hutang tapi dari sumbangan para penta'ziyah dan tidak memberatkan ahlul mushibah tidak mengapa hukumnya. Tapi kalau memberatkan ahlul mushibah hukumnya menjadi haram. Wallahua'lam,

 
MASLAHAH MURSALAH
Pada hakikatnya, al-mashalih artinya adalah mengambil yang baik dan meninggalkan yang buruk (yang tidak baik). Apakah yang dimaksud dengan "yang baik" tersebut? Para ulama menyebutkan, bahwa "yang baik" itu kriterianya adalah sesuai dengan tujuan Allah dan Rasul-Nya menetapkan hukum, maka itulah kebaikan yang dimaksud tersebut, tak peduli jika menurut logika kita itu tidak baik. Ketika Allah mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan maka diperintah dan adalah keburukan sehingga dilarang. Sehingga kita tak mempunyai hak untuk mengatakan, bahwa babi itu baik, walaupun mungkin secara logika ada yang mengatakan bahwa babi itu lebih enak dibandingkan dengan daging yang lainnya. Ketika Allah melarangnya, maka itulah keburukan.

 
Mashalih itu ada tiga jenis, yaitu:

 
Pertama, al-mashalih al-mu'tabarah, yaitu kemaslahatan (kebaikan-kebaikan) yang memang secara tekstual ditentukan oleh Allah ataupun Rasul-Nya. Dalam kasus ini, para ulama tidak berbeda pendapat, semuanya sepakat bahwa kebaikan yang sudah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya tersebut memang harus kita pegangi.

 
Kedua, al-mashalih al-mulghah, yaitu kebaikan-kebaikan yang memang tidak pernah dianggap, bahkan jelas-jelas dinyatakan bahwa hal tersebut merupakan keburukan. Walaupun hal tersebut baik menurut logika kita, tetapi ketika Allah mengatakan bahwa hal tersebut harus dijauhi, maka sudah jelas bahwa hal tersebut memang harus dijauhi. Para ulama juga tidak berbeda pendapat pada jenis yang kedua ini. Jenis ini memang harus dijauhi, tidak peduli apakah itu cocok (sesuai) dengan otak kita atau tidak.

 
Ketiga, mashalih yang tidak diketahui, apakah Allah menganggap hal itu sebagai kebaikan atau Allah menganggapnya sebagai keburukan, tidak ada petunjuk mengenai hal tersebut. Jenis yang ketiga ini di dalam kajian ushul fiqh dinamakan al-mashalih al-mursalah, yaitu kebaikan yang Allah dan Rasul-Nya tidak memberikan rambu-rambu apakah hal tersebut baik ataukah buruk, tidak ada kejelasan dalam hal ini. Di sini terjadi benturan-benturan pemikiran yang begitu tajam. Di sinilah para ulama berbeda pendapat, apakah jenis yang seperti ini kita serahkan kepada otak, ataupun jenis ini perlu dukungan yang lainnya.

 
Dalam kasus ini, hampir-hampir antara Al-Istihsan dan Al-Mashalih ini sangat erat kaitannya, sehingga kasus seperti yang terjadi pada Sayyidina Umar tersebut ketika ada orang yang mengatakan "anti thaaliqun tsalaatsan", maka Sayyidina Umar menentukan jatuh tiga thalaqnya. Ini merupakan suatu perlawanan yang terkesan ekstrim dari seorang Umar ibn Khattab. Ketika ditanya mengapa beliau berani mengubah ketentuan Rasulullah, maka dijawab oleh Sayyidina Umar:

 
"Bahwa dulu ketika Rasulullah menjadi pemimpin, rakyatnya adalah orang-orang sepertiku. Sedangkan sekarang pada masa kekhalifahanku, rakyatnya adalah kalian yang jauh lebih buruk dari orang-orang sepertiku pada masa itu. Pada masa itu (masa hidupnya Rasulullah), kami akan berpikir berkali-kali untuk mengucapkan thalaq. Tetapi pada masa kekhalifahanku ini, kalian begitu mudahnya untuk mengucapkan thalaq, walaupun hanya karena persoalan yang sepele. Sekarang, biar kalian tidak lagi terlalu mudah untuk mengucapkan thalaq, maka akan kujatuhkan thalaq tiga sekaligus jika kalian mengucapkan menthalaq tiga. Ini adalah untuk kebaikan kalian semuanya, sehingga kalian tidak gampang menjatuhkan thalaq."

 
Dalam hal ini, Sayyidina Umar tidak sembarangan, karena ia mempunyai pegangan, yaitu bahwa perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah thalaq. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar tersebut adalah mashalih, karena berangkat dari kebaikan-kebaikan untuk kebaikan-kebaikan. Hal ini takkan dijumpai di dalam teks-teks Alquran, Hadis, Ijma', ataupun Qiyas. Sehingga dalam kasus ini, hukum Islam akan stagnan jika tidak menggunakan sumber hukum seperti mashalih. Dari sini dapatlah kita pahami, bahwasanya sumber hukum Islam yang digunakan oleh para ulama, bahkan di zaman Rasulullah, di antaranya adalah mashalih.

 
Maqashid tersebut dianggap sebagai barometer untuk menentukan apakah suatu masalah itu termasuk maslahat (kebaikan) atau mafsadat (keburukan), yang itu harus ditinjau dari maqashid atau maqshad atau tujuan dari ketentuan yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.

 
Para ulama kemudian menyimpulkan bahwsanya maqashid itu ada lima:

 
Pertama, maqashid hifzhud-din, yaitu tujuannya adalah menjaga agama. Salah satu contohnya adalah dianjurkannya kita berjihad ketika jihad itu memang diperlukan untuk menjaga agama. Sebab kalau tidak, umat Islam mungkin akan dibantai sehingga akan habis. Kalau pemeluk agama Islam habis, maka agama Islam juga akan habis. Namun kadang kita mengartikan "jihad" itu seenaknya saja, padahal jihad adalah suatu ketentuan yang sangat sakral dan sangat mulia.

 
Kedua, maqashid hifzhun-nafsi, yaitu menjaga diri. Tujuan syari' (tujuan Allah) menentukan suatu ketentuan hukum adalah untuk menjaga diri. Misalkan mengenai ketentuan qishash. Qishash adalah membunuh seseorang yang memang sudah layak untuk dibunuh. Ketika ada seseorang yang membunuh tanpa adanya kejelasan, sehingga perbuatannya tersebut merupakan perbuatan yang sangat salah, maka hukum terhadap orang yang membunuh tersebut adalah qishash. Ditentukan dan dianjurkannya qishash ini pada prinsipnya adalah menjaga diri. Mengapakah qishash itu dianggap menjaga diri, sedangkan qishash itu sendiri merupakan membunuh?

 
Allah menyatakan, bahwasanya qishash itu adalah "hayaatun ya ulil albab" (qishash itu adalah kehidupan bagi kalian). Mungkin jika suatu saat kita sedang berada di Saudi Arabia, maka akan begitu terasa bahwa qishash merupakan suatu kehidupan. Biasanya pada hari Jum'at setelah imam mengucapkan salam, maka tiba-tiba ada pengumuman, maka itu pasti akan diadakannya hukum qishash, atau paling tidak potong tangan ataupun rajam. Diumumkan juga kepada seluruh umat Islam yang ada ketika itu dianjurkan untuk melihat pelaksanaan hukum qishash tersebut. Ketika melihat pelaksanan hukum qishash tersebut, mungkin akan begitu terasa di hati kita, mudah-mudahan kita diberi perlindungan oleh Allah agar tidak membunuh orang, karena hukumnya sangat berat. Inilah dampak psikis dari hukum qishash yang kita lihat itu. Sehingga orang yang melihat pelaksanaan hukuman tersebut, maka akan tertahan untuk melakukan tindak pidana. Inilah yang dikehendaki oleh Allah, bahwa qishash itu sebetulnya merupakan kehidupan bagi umat manusia.

 
Ketiga, maqashid hifzhul-aqli, menjaga pikiran (akal) agar selalu jernih. Karena itu, disyariatkanlah ketentuan hukuman (had) bagi orang yang mabuk (baik itu karena minuman keras ataupun narkoba). Sehingga, tujuan dari mengapa orang yang mabuk ataupun menenggak narkoba itu dihukum adalah agar tidak melakukan hal tersebut, sehingga otak ini tetap jernih.

 
Keempat, maqashid hifzhun-nasab, yaitu menjaga keturunan. Menjaga keturunan yang dimaksud di antaranya menjaga nasab dalam bentuk perintah dan menjaga nasab dalam bentuk larangan. Menjaga nasab dalam bentuk perintah salah satunya adalah menikah. Jadi, menikah itu adalah ketentuan dan perintah Allah dan Rasul-Nya seperti juga ketentuan dalam perintah-perintah yang lainnya. Sehingga kalau ada orang yang mengatakan bahwa nikah itu hanya untuk meredam nafsu seksual, maka berarti orang tersebut tidak paham pada syariat, karena sesungguhnya nikah merupakan perintah Allah untuk menjaga keturunan, dalam hal ini tentunya keturunan yang terhormat. Dalam bentuk larangan yaitu ketentuan dilarangnya melakukan perzinahan dan dianjurkannya menghukum orang-orang yang berzinah.

 
Kelima, maqashid hifzhun-maal, menjaga harta. Ada yang berbentuk anjuran, yaitu seperti perintah untuk bekerja mencari nafkah yang halal, yang hal ini sama dengan ibadah yang diperintahkan seperti dalam bentuk salat. Tujuan dari diperintahkannya bekerja adalah untuk menjaga harta. Selain itu, ada juga dalam bentuk larangan, yaitu larangan bahkan dihukumnya orang-orang yang mencuri dengan cara dipotong tangannya.

 
Inilah lima maqashid, yang kemudian disempurnakan lagi oleh para ulama menjadi enam, yaitu maqashid hifzhul-'irb, yaitu tujuan menjaga kehormatan. Sehingga dalam hal ini, misalkan dilarang dan dihukumnya orang-orang yang melakukan qadhab dan li-an. Qadhab adalah menuduh orang lain berzina. Seseorang yang menuduh orang lain berzina yang itu tanpa adanya empat orang saksi, maka orang tersebut (orang yang menuduh) harus dihukum. Sehingga seseorang tidak seenaknya saja menuduh orang lain berzina. Kalau tuduhan tersebut kepada istrinya, maka dinamakan li-an.

 
Jika menuduh orang lain berzina yang kemudian tidak bisa membuktikan dengan empat orang saksi, maka orang yang menuduh tersebut akan dijatuhi hukuman cambuk. Mengapa seperti ini? Karena kehormatan orang Islam itu terjaga, tidak seenaknya saja menuduh orang lain melakukan perbuatan yang tidak terhormat. Bagi seorang suami yang menuduh istrinya melakukan perbuatan zina, maka si suami yang menuduh tersebut harus bisa membuktikan dengan bersumpah empat kali sebagi ganti dari empat orang saksi.

 
Kalau bersumpah atas nama Allah, maka taruhannya adalah surga dan neraka. Kalau bersumpah tidak dengan nama Allah, misalkan "demi langit dan bumi", maka orang tersebut kafir. Jadi, konsekuensi bersumpah itu sangat berat. Sehingga orang yang dimintai sumpahnya itu sebetulnya jauh lebih berat daripada menghadirkan saksi. Dari hal ini dapatlah kita lihat, bahwa begitu kerasnya syariat menjaga kehormatan orang Islam.

 
Persoalan ini begitu pentingnya kita ketahui. Mengenai Alquran dan Hadis mungkin sudah sering kita dengar, tetapi hukum-hukum yang seperti ini mungkin jarang ataupun tak pernah kita dengar. Dan ini adalah ketentuan yang secara nyata terjadi pada para ulama.

 
Dengan mengetahui ini, mudah-mudahan akan membuka pikiran kita, sehingga kita tidak lagi seperti "katak dalam tempurung", yang sedikit-sedikit kita mengatakan "hanya Alquran dan Hadis". Memang tak dapat dipungkiri bahwa Alquran dan Hadis adalah sumber hukum Islam, tetapi bukan hanya Alquran dan Hadis, karena nyatanya para ulama tidak hanya bersumberkan kepada Alquran dan Hadis, melainkan ada sumber-sumber hukum Islam yang lainnya yang juga digunakan.

 
DZARI'AH
Saddudz dzarî'ah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzarî'ah. Saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang dzarî'ah berarti jalan. Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî'ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syari'at menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya.
Inilah yang dimaksud dengan kaidah:

مـا لا يتـم الـواجب إلا به فهـو الـواجب
Artinya:
"Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib, maka ia tiada lain hanyalah wajib pula."
Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.
Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat.
Dasar hukum saddudz dzarî'ah
Dasar hukum dari saddudz dzarî'ah ialah aI-Qur'an dan Hadits, yaitu:
a. Firman Allah SWT:
Artinya:
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (al-An'âm: 108)
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas.
b. Dan firman Allah SWT:
Artinya:
"…Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…" (an-Nûr: 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.
c. Nabi Muhammad SAW bersabda:

 

 
الا وحـمى الله مـعاصيه فمـن حـام حـول الحـمى يوشـك أن يقع فـبه
Artinya:
"Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke dalamnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

 
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.
Obyek saddudz dzarî'ah
Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya:
a. Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
b. Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek saddudz dzarî'ah, karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu rnendorong orang yang melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.
Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu:
1. Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
2. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
3. Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya perbuatan terlarang.
Yang no. 1 disebut dzarî'ah qawiyah (jalan yang kuat), sedang no. 2 dan 3 disebut dzarî'ah dha'ifah (jalan yang lemah).

 

 

 
ISTISHAB

 
A. Definisi Istishab

 
Istishab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada hubungannya". Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan kata lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum tersebut.
Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedangkan menurut Asy Syatibi, istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:
Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.

 
Contoh Istishab:

 
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.

 
B. Dasar Hukum Istishab
Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram.
Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya istishab dapat dijadikan dasar hujjah.

 
C. Macam-Macam Istishab
Dari istishhab itu dibuat kaidah-kaidah fiqhiyah yang dapat dijadikan dasar untuk mengisthimbathkan hukum. Ditinjau dari segi timbulnya kaidah-kaidah itu istishhab dapat dibagi kepada:

 
a. Istishhab berdasar penetapan akal

 
Berdasarkan ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu ketentuan umum bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi ini adalah untuk keperluan dan kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian halnya maka segala sesuatu itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan atau dikerja-kan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah itu tetap berlaku sampai ada dalil syara' yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat 90 surat al-Mâidah, kaum muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat tersebut diharamkan meminum khamar. Dengan demikian ayat tersebut mengecuali-kan khamar dari benda-benda lain yang dibolehkan meminumnya.

 
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut:

 
1. "(Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan)."
2. "(Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas dari tanggungan."
3. "(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan."

 
b. Istishhab berdasarkan hukum syara'
Sesuai dengan ketetapan syara' bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-Iaki dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka kedua suami isteri itu halal atau boleh (mubah) hukumnya melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Ketetapan mubah ini telah berlaku selama mereka tidak pernah bercerai) walaupun mereka telah lama berpisah dan selama itu pula si isteri dilarang kawin dengan laki-laki lain. Menyatakan bahwa hukum syara' itu tetap berlaku bagi kedua suami-isteri itu, pada hakikatnya mengokohkan hukum syara' yang pernah ditetapkan.

 
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah:

 
1. "(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh (hukum yang ditetapkan dengan) ragu-ragu."

 
2. "(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada, berlaku, menurut keadaan adanya, hingga ada ketetapan yang mengubahnya."

 
3. "(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada berlaku menurut keadaan adanya, hingga ada dalil yang mengubahnya."

 
Kaidah-Kaidah Istishab Dan Penerapannya

 
Kaidah-kaidah istishab antara lain:
الاصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما يفيره

 
"pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah ada sehingga ada dalil yang merubahnya."
الاصل في الاشياء الا باحة

 
"pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh."
الاصل في الانسان البراءة

 
"manusia pada asalnya adalah bebas dari beban."
بالشك ولايزول الابيقين مثله ما ثبت باليقين لايزول

 
"apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga."

 
Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu' dan ragu-ragu jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu', dan shalatnya sah. Hal demikian berbeda dengan pendapat ulama dari golongan Malikiyah yang berpedapat wajib berwudhu' lagi. Sebab, menurut mereka tanggung jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat dengan penuh keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut tidak lepas kecuali dengan mengerjakan shalat dengan benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus dilakukan dengan wudhu' agar tidak diragukan kebatalannya.

 

  







2.Jelaskan kelebihan dan kekurangan filsafat

Filsafat sebagai salah satu bidang keilmuan memiliki kelebihan dan kekurangan baik itu dari sisi mana yang paling berpengarruh apakah banyak kelebihan atau banyak kekurangannya, untuk menjawab pertanyaan apa kelebihan dan kekurangan filsafat maka kita harus melihat implikasinya (emperis) agar dapat merasakan secara langsung. Tapi dapat saya gambarkan secara umum sebagai berikut: 
MANFAAT/KELEBIHAN MEMPELAJARI FILSAFAT

MANFAAT MEMPELAJARI FILSAFAT Menurut Narold H. Titus, filsafat adalah suatu usaha untuk memahami alam semesta, maknanya dan nilainya. Filsafat adalah kreatif, menerapkan nilai, menerapkan tujuan, menentukan arah, dan menentukan pada jalan baru. Filsafat tidak ada artinya apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.

Mempelajari filsafat Islam sekurang-kurangnya ada lima manfaat, yaitu :

1. agar terlatih berpikir serius;
2. agar mampu memahami filsafat secara menyeluruh;
3. agar menjadi filsuf walaupun dalam bidang tertentu;
4. agar sungguh-sungguh dalam belajar mendalami suatu ilmu;
5. agar menjadi warga negara yang baik, patuh, dan produktif.

 
Secara konkret manfaat mempelajari filsafat adalah sebagai berikut :


1. Dapat menolong, mendidik, membangun diri sendiri untuk berpikir lebih mendalam dan menyadari bahwa ia adalah makhluk Tuhan.
2. Dapat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan-persoalan dalam hidup sehari-hari.
3. Dapat memberikan pandangan yang luas, membendung akuisme, dan akusentrisme.
4. Dapat melatih untuk berpikir cemerlang sehingga tidak hanya ikut-ikut saja, membuntut pada pandangan umum.
5. Dapat memberi dasar-dasar hidup dalam etika dan ilmu-ilmu pengetahuan seperti sosiologi, ilmu jiwa, ilmu pendidikan, dan ilmu-ilmu lainnya yang bermanfaat untuk kehidupan.

Filsafat berguna bagi manusia apabila filsafat tersebut memperlihatkan kemajuan yang fositif bagi kehidupan manusia.

 
KEKURANGAN FILSAFAT
Ada saya temukan sebuah kutifan tentang filsafat mungkin itu adalah salah satu kekurangan filsafat sebagai berikut, menurut Magnis-Suseno dalam buku Pokok-pokok Filsafat Hukum karangan Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. dan DR. Shidarta, S.H., M.Hum. (2006:3) menegaskan, bahwa jawaban – jawaban filsafat itu memang tidak pernah abadi. Karena itu, filsafat tidak pernah selesai dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah.
  

3.Filsafat Dalam Kedudukan/Perspektif Islam
Filsafat sebagai suatu cabang dari ilmu pengetahuan diyakini merupakan suatu disiplin ilmu yang cukup sulit dan terkadang dianggap hantu bagi sementara kalangan pelajar. Kadang cabang ilmu ini menjadi sebuah cemoohan yang dihujat dan dilaknat sebagian umat muslim yang tulen dan shalih dalam mendalami, mengkaji dan mengamalkan nilai – nilai ajaran islam karena dianggap berbahaya dan bisa membawa orang yang berkecimpung didalamnya menjadi seorang kafir. Filsafat sering difitnah sebagai sekuleristik, ateis, dan anarkis karena suka menyobek selubung – selubung ideologis pelbagai kepentingan duniawi, termasuk yang tersembunyi dibalik pakaian seorang 'alim. Ia tidak sopan. Ia bagaikan anjing yang menggonggong, mengganggu dan menggigit.

Pandangan semacam ini sangat wajar dan seringkali kita jumpai dalam pandangan sementara masyarakat terutama masyarakat muslim yang berkecimpung dalam urusan 'ubudiyah. Kekhawatiran inipun juga sangat wajar mengingat banyak pemburu filsafat yang pada akhirnya karena kesalahan dalam memahami dan mengkaji ilmu ini kemudian tidak lagi mengindahkan nilai – nilai yang ada dalam ajaran agama islam. Namun bagaimana sebenarnya islam memandang ilmu ini? Apakah islam benar melarang tumbuh dan berkembangnya ilmu ini? Atau justeru sebaliknya?

Pada dasarnya tidak ada larangan didalam islam tentang mempelajari ilmu filsafat. Bahkan islam sangat menganjurkan agar manusia berfilsafat. Hal ini tertuang didalam al qur'an surat al ankabut ayat 20 :

قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنْشِئُ النَّشْأَةَ الْآَخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (20)

Artinya : "Katakanlah : "Berjalanlah dibumi, maka perhatikanlah bagaimana (Allah) memulai penciptaan (makhluk), kemudian Allah menjadikan kejadian yang akhir, Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." ( Q.S. Al Ankabut: 20)

Ayat ini memberikan sebuah inspirasi dan motivator kepada umat islam agar melakukan proses penelitian analisis yang mendalam terhadap apa yang ada di bumi. Kata أنظروا كيف بدأالخلق memberikan sebuah pemahaman bahwa proses penciptaan Allah terhadap makhluq adalah sebuah proses yang perlu mendapat perhatian yang serius, analisis yang mendalam dan juga penelitian yang detail. Penelitian, analisis ini merupakan sebuah bagian dari kerja filsafat. Hal ini dikarenakan filsafat secara hakiki adalah ilmu kritis.

Sebagai sebuah ilmu kritis maka filsafat akan bergulat pada masalah – masalah dasar kemanusian bahkan tentang masalah – masalah ketuhanan. Filasafat harus mengkritik jawaban – jawaban yang tidak memadai dan harus ikut serta dalam mencari jawaban yang benar. Bahwa filsafat juga harus mencari jawaban perlu ditegaskan berhadapan dengan suatu trend modis masakini, seakan – akan tugas filsafat terbatas pada menanyakan pertanyaan – pertanyaan yang betul. Seakan – akan bukan tugasnya untuk mencoba memberi sebuah jawaban.

Sebagai ilmu kritis filsafat juga harus mampu untuk bersikap kritis bahkan pada hakikat ilmu filsafat itu sendiri. Filsafat memang harus mencari jawaban – jawaban, namun demikian jawaban – jawaban itu tidaklah abadi. Karena itu filsafat tidak akan pernah selesai dan tak pernah sampai pada akhir sebuah masalah. Filsafat akan berkembang sejalan dengan kehidupan manusia yang dinamis, berkembang dan senantiasa diliputi masalah.

Sebagai sebuah agama islam tidak pernah melarang manusia untuk berfikir secara bebas, akan tetapi islam memberikan batasan bahwa pemikiran yang dilakukan oleh manusia tidak berhubungan dengan dzat Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah. Hal ini sesuai dengan pernyataan hukama' :

 
تفكروا فى خلق الله ولا تفكروا فى ذات الله

Artinya : berfikirlah tentang apa yang telah diciptakan Allah dan janganlah kalian berfikir tentang dzat Allah.

Hal ini dapat dimaklumi karena Dzat Allah sebagi Tuhan yang wajib disembah memiliki sifat yang tak terbatas. Berbeda dengan manusia. Sehebat apapun manusia namun kehebatan manusia itu hanya bersifat nisbi. Kemampuan akal manusia takkan mampu menjangkau pada hal – hal yang bersifat transenden. Manusia hanya mampu memahami dan menjangkau hal – hal yang bersifat immanent yang menjadi bidang garapan manusia yang dalam term diatas disebut sebagai خلق الله ( ciptaan Allah ).

Dalam sejarah islam kita mengenal tokoh – tokoh yang menjadi panutan dunia dalam bidang filsafat. Dibelahan dunia bagian timur kita mengenal Abu Yusuf Ya'kub ibnu Ishaq ibnu Ismail al Ash'ats ibnu Qais Al Kindi, Ar razi, Al Farabi, Ikhwanus Shafa dll. Sementara dibelahan barat ada Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, ibnu Rusyd dan masih banyak lagi yang lain. Para filosof ini menjadi sebuah bukti bahwa islam tidak memandang filsafat sebagi sebuah ilmu yang tidak boleh dipelajari dalam dunia islam. Justeru sebenarnya dalam islam sangat menekankan proses berfikir yang dengan proses tersebut keimanan bertambah, islam menjadi kuat dan disegani di seluruh belahan dunia. Intinya berfilsafat adalah penting demi dan untuk menegakkan kalimah Allah atas orang – orang yang menentangnya. Karena para penentang itu tidak akan menerima argument yang hanya berdasarkan keimanan saja akan tetapi mereka butuh rasional, logis dan realistis. Pemikiran semacam itu hanya mungkin didapat ketika kita belajar tentang filsafat.

 

Tidak ada komentar:

SMS Onlain Geratis

Syarat dan Kondisi menurut SMS ONLAIN GERATIS(http://sms-online.web.id) * Dilarang keras mengirim sms penipuan, asusila, atau segala bentuk aktifitas yang bertentangan dengan hukum positif di Indonesia. * Isi sms adalah diluar tanggung jawab penyelenggara sms-online.web.id * Penyelenggara sms-online.web.id tidak menjamin bahwa sms pasti sampai ke tujuan, namun status pengiriman dapat dilihat sendiri pada halaman INBOX & STATUS. * Penyelenggara sms-online.web.id berhak menghapus sms anda agar tidak terkirim tanpa harus menjelaskan alasannya.