Pencarian

TERANSLIT

Rabu, 04 Februari 2015

LANDASAN HUKUM SYARIAT DAN HUKUM POSITIF TENTANG HALAL DAN HARAM



LANDASAN HUKUM SYARIAT DAN HUKUM POSITIF
HALAL DAN HARAM 



  1. Prinsip-Prinsip Halal dan Haram

            Dalam bukunya yang berjudul Halal dan Haram, Yusuf Qardhawi menjelaskan beberapa prinsip-prinsip Islam tentang halal dan haram yang perlu kita ketahui bersama.  Prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut.

a.      Segala sesuatu pada asalnya mubah.  Asal segala sesuatu adalah halal dan mubah, dan tidak ada yang haram kecuali apa yang disebutkan oleh nash yang shahih dan tegas dari Pembuat Syari’at yang mengharamkannya.  Apabila tidak terdapat nash yang shahih, seperti sebagian hadis yang dha’if, atau tidak tegas penunjukkannya kepada yang haram, maka tetaplah sesuatu itu pada hukum asalnya, yaitu mubah.  Salah satu dasar yang mendukung prinsip ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Bazzar dimana Rasulullah saw bersabda: “Apa yang dihalalkan Allah didalam kitab-Nya adalah halal, dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram; sedang apa yang didiamkan-Nya adalah dimaafkan (diperkenankan).  Oleh karena itu terimalah perkenan dari Allah itu, karena sesungguhnya Allah tidak akan pernah lupa sama sekali.”

b.      Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah semata.  Hanya Allah yang berhak menetapkan mana yang halal mana yang haram sedangkan peran ulama adalah sebatas merumuskan dan menjabarkan lebih lanjut apa-apa yang dihalalkan atau diharamkan Allah.  Didalam Al Qur’an secara jelas Allah menetapkan hal ini.  “Katakanlah:Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.  Katakanlah: Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59).  Didalam ayat lain Allah juga berfirman: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta: ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.  Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung.” (An-Nahl: 116).

c.       Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sama dengan syirik.  Dasar yang digunakan adalah firman Allah didalam hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Muslim: “Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dengan sikap yang lurus.  Lalu datanglah syetan kepada mereka, lantas membelokkan mereka dari agama mereka, dan mengharamkan atas mereka apa yang telah Kuhalalkan buat mereka, serta menyuruh mereka mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang Aku tidak menurunkan keterangan padanya.”

d.      Mengharamkan yang halal akan mengakibatkan timbulnya keburukan dan bahaya.  Sesuatu yang semata-mata menimbulkan bahaya adalah haram.  Sesuatu yang menimbulkan manfaat adalah halal.  Sesuatu yang bahayanya lebih besar daripada manfaatnya adalah haram.  Sesuatu yang manfaatnya lebih besar adalah halal.

e.       Yang halal tidak memerlukan yang haram.  Islam tidak mengharamkan sesuatu atas mereka kecuali digantinya dengan yang lebih baik dan mengatasi kebutuhannya.  Islam mengharamkan mereka melakukan riba, dan menggantinya dengan perniagaan yang menguntungkan.

f.       Apa yang membawa kepada yang haram adalah haram.  Islam mengharamkan segala sesuatu yang dapat menjadi perantara dan membawa kepada yang haram.  Islam mengharamkan zina, maka segala hal yang dapat menghantarkan kepada perzinaan seperti berpakaian yang tidak menutup aurat, berkhalwat, pergaulan bebas, pronografi, dll juga diharamkan.  Itulah sebabnya maka para fuqaha menetapkan prinsip “Apa saja yang membawa kepada yang haram, maka ia adalah haram.”  Dalam kaitan ini Islam juga menetapkan bahwa dosa perbuatan haram tidak terbatas pada pelakunya saja, tapi semua orang yang turut andil didalamnya, baik dengan tenaga, materi maupun moral.  Dalam masalah khamar misalnya, Rasulullah saw melaknat peminumnya, pemerahnya, penghidangnya, yang diberi hidangan, yang memakan hasil usaha khamar, dll.

g.      Bersiasat terhadap hal yang haram adalah haram.  Sebagaimana halnya Islam mengharamkan segala sesuatu yang membawa kepada yang haram berupa sarana-sarana yang tampak, maka ia juga mengharamkan bersiasat untuk melakukannya dengan sarana-sarana yang tersembunyi dan siasat syetan.

h.      Niat yang baik tidak dapat menghalalkan yang haram.  Sesuatu yang haram tetap saja haram walaupun dalam mencapai yang haram tersebut dikandung niat yang baik, tujuan yang mulia dan sasaran yang dianggap tepat.  Islam tidak ridha menjadikan yang haram sebagai jalan untuk mencapai tujuan yang terpuji, sebagai contoh Islam tidak memperkenankan keuntungan penjualan khamar untuk pembangunan masjid.  Tujuan yang mulia harus dicapai dengan cara yang benar.

i.        Menjauhkan diri dari syubhat karena takut terjatuh dalam haram.  “Yang halal itu sudah jelas dan yang haram itu juga sudah jelas.  Akan tetapi diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang belum jelas (syubhat), yang tidak dimengerti oleh banyak orang, apakah dia itu halal ataukah haram?  Barangsiapa yang menjauhinya karena hendak membersihkan agama dan kehormatannya, maka dia akan selamat; dan barangsiapa yang melakukan sesuatu darinya hampir-hampir ia terjatuh kedalam yang haram, sebagaimana orang yang menggembala kambing disekitar daerah larangan, dia hampir-hampir akan jatuh kepadanya.  Ingatlah, bahwa setiap raja mempunyai daerah larangan.  Ingatlah, bahwa daerah larangan Allah ialah semua yang diharamkan.” (Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lainnya dari An-Nu’man bin Basyir.  Lafal ini adalah riwayat Tirmidzi).

j.        Sesuatu yang haram berlaku untuk semua orang.  Dalam mengharamkan sesuatu Islam tidak pandang bulu, tidak ada keringanan bagi sebagian orang kecuali dalam keadaan darurat.  Tidak ada keringanan terhadap misalnya, keturunan nabi atau raja atau orang yang dianggap alim.

k.      Keadaan yang terpaksa membolehkan yang terlarang.  Didalam surat Al-Baqarah ayat 173 Allah berfirman: “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.  Sesungguhnya Allah maka pengampun lagi maha penyayang.”

2. Makanan danMinuman yang Diharamkan

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadanya (Al-Maaidah: 88).
            Ayat tersebut diatas jelas-jelas telah menyuruh kita hanya memakan makanan yang halal dan baik saja, dua kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang dapat diartikan halal dari segi syariah dan baik dari segi kesehatan, gizi, estetika dan lainnya.
            Sesuai dengan kaidah ushul fiqih, segala sesuatu yang Allah tidak melarangnya berarti halal.  Dengan demikian semua makanan dan minuman diluar yang diharamkan adalah halal.  Oleh karena itu, sebenarnya sangatlah sedikit makanan dan minuman yang diharamkan tersebut.  Walaupun demikian, pada zaman dimana teknologi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari manusia, maka permasalahan makanan dan minuman halal menjadi relatif kompleks, apalagi yang menyangkut produk-produk bioteknologi.


Makanan yang Diharamkan

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut nama selain Allah.  Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.  Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang (Al-Baqarah:173).
            Dari ayat diatas jelaslah bahwa makanan yang diharamkan pada pokoknya ada empat:
1. Bangkai: yang termasuk kedalam kategori bangkai ialah hewan yang mati dengan tidak disembelih, termasuk kedalamnya hewan yang matinya tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh hewan buas, kecuali yang sempat kita menyembelihnya (Al-Maaidah:3).  Bangkai yang boleh dimakan berdasarkan hadis yaitu bangkai ikan dan belalang (Hamka, 1982).
2. Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir (Al-An’aam:145), yang dimaksud adalah segala macam darah termasuk yang keluar pada waktu penyembelihan (mengalir), sedangkan darah yang tersisa setelah penyembelihan yang ada pada daging setelah dibersihkan dibolehkan (Sabiq, 1987).  Dua macam darah yang dibolehkan yaitu jantung dan limpa, kebolehannya didasarkan pada hadis (Hamka, 1982).
3. Daging babi.  Kebanyakan ulama sepakat menyatakan bahwa semua bagian babi yang dapat dimakan haram, sehingga baik dagingnya, lemaknya, tulangnya, termasuk produk-produk yang mengandung bahan tersebut, termasuk semua bahan yang dibuat dengan menggunakan bahan-bahan tersebut sebagai salah satu bahan bakunya.  Hal ini misalnya tersirat dalam Keputusan Fatwa MUI bulan September 1994 tentang keharaman memanfaatkan babi dan seluruh unsur-unsurnya (Majelis Ulama Indonesia, 2000).
4. Binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah.  Menurut Hamka (1984), ini berarti juga binatang yang disembelih untuk yang selain Allah (penulis mengartikan diantaranya semua makanan dan minuman yang ditujukan untuk sesajian).  Tentu saja semua bagian bahan yang dapat dimakan dan produk turunan dari bahan ini juga haram untuk dijadikan bahan pangan seperti berlaku pada bangkai dan babi.
            Masalah pembacaan basmalah pada waktu pemotongan hewan adalah masalah khilafiyah (Hamka, 1982), ada yang mengharuskan membacanya, ada yang hanya menyunahkan saja (Hassan, 1985).  Yang mengharuskan membacanya berpegang pada surat Al-An’aam ayat 121: dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah (ketika menyembelihnya), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan….  Bagi mereka yang menyunahkan membacanya berpegang pada hadis-hadis, diantaranya hadis yang dirawikan oleh Bukhari, An-Nasa-i dan Ibnu Majah dari hadis Aisyah bahwa suatu kaum datang kepada kami membawakan kami daging, tetapi kami tidak tahu apakah disebut nama Allah atasnya atau tidak.  Maka menjawab Rasulullah saw: “Kamu sendiri membaca bismillah atasnya, lalu makanlah!”  Berkata yang merawikan: “Mereka itu masih dekat kepada zaman kufur.” (Artinya baru masuk Islam) (Hamka, 1982).
            Ada satu masalah lagi yang masih menjadi khilafiyah yaitu sembelihan ahli kitab, ada yang membolehkan (Hamka, 1982; Qardlawi, 1976) yang didasarkan diantaranya firman Allah dalam surat Al-Maaidah ayat 5: … dan makanan orang-orang yang diberi AlKitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka….  Kebolehan memakan hewan ternak (selain babi) hasil sembelihan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) ini sepanjang cara penyembelihannya sesuai dengan cara penyembelihan secara islami (menggunakan pisau yang tajam, memotong urat lehernya dan hewan mengeluarkan darahnya pada waktu disembelih yang berarti hewan belum mati pada waktu disembelih walaupun dipingsankan dulu sebelumnya) (Hamka, 1982).  Yang mengharamkan sembelihan ahli kitab didasarkan pada ayat 121 surat Al-An’aam seperti dituliskan diatas, dimana mereka menyembelih tidak atas nama Allah.
            Disamping keempat kelompok makanan yang diharamkan tersebut diatas, terdapat pula kelompok makanan yang diharamkan karena sifatnya yang buruk seperti dijelaskan dalam surat Al-A`raaf:157 .....dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk......  Apa-apa saja yang buruk tersebut agaknya dicontohkan oleh Rasulullah dalam beberapa hadis, diantaranya hadis Ibnu Abbas yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan Muslim dan Ash Habussunan: Telah melarang Rasulullah saw memakan tiap-tiap binatang buas yang bersaing (bertaring, penulis), dan tiap-tiap yang mempunyai kuku pencengkraman dari burung.  Sebuah hadis lagi sebagai contoh, dari Abu Tsa`labah: Tiap-tiap yang bersaing dari binatang buas, maka memakannya adalah haram (perawi hadis sama dengan hadis sebelumnya).
            Hewan-hewan lain yang haram dimakan berdasarkan keterangan pada hadis-hadis ialah himar kampung, bighal, burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus, anjing, anjing gila, semut, lebah, burung hud-hud, burung shard (Sabiq, 1987).  Selain itu, ada lagi binatang yang tidak boleh dimakan yaitu yang disebut jallalah.  Jallalah adalah binatang yang memakan kotoran, baik ia unta, sapi, kambing, ayam, angsa, dll sehingga baunya berubah.  Jika binatang itu dijauhkan dari kotoran (tinja) dalam waktu lama dan diberi makanan yang suci, maka dagingnya menjadi baik sehingga julukan jallalah hilang, kemudian dagingnya halal (Sabiq, 1987).
            Ada pula Imam yang tidak mengkategorikan makanan-makanan haram yang dijelaskan dalam hadis sebagai makanan haram, tetapi hanya makruh saja.  Pendapat ini dipegang oleh penganut mazhab Maliki (Hamka, 1982; Hassan, 1985; Sabiq 1987).  Akan tetapi, dengan menggunakan common sense saja agaknya sudah dapat dirasakan penolakan untuk memakan binatang-binatang seperti binatang buas: singa, anjing, ular, burung elang, dsb.  Oleh karena itu, barangkali pendapat Mazhab Syafi`i lah yang lebih kuat yang mengharamkan makanan yang telah disebutkan diatas.
            Ada pula pendapat yang mengatakan hewan yang hidup di dua air haram, yang menurut mereka didasarkan pada hadis.  Sayangnya, sampai saat ini penulis hanya dapat menemukan pernyataan keharaman makanan tersebut di buku-buku fiqih tanpa dapat berhasil menemukan sumber hadisnya yang jelas selain dari satu hadis yang terdapat dalam kitab Bulughul Maram (Hassan, 1975): Dari `Abdurrahman bin `Utsman Al-Qurasyis-yi bahwasanya seorang tabib bertanya kepada Rasulullah saw tentang kodok yang ia campurkan didalam satu obat, maka Rasulullah larang membunuhnya (Diriwayatkan oleh Ahmad dan disahkan oleh Hakim dan diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan Nasa`i).  Dari hadis tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa larangan membunuh kodok sama dengan larangan memakannya.  Akan tetapi larangan terhadap binatang lainnya yang hidup di dua air seperti kodok tentulah tidak secara tegas dinyatakan dalam hadis tersebut, mungkin itu hanya hasil qias saja.  Jadi seharusnya yang diharamkan hanya kodok saja, sedangkan hewan yang hidup di dua alam lainnya tidak diharamkan, kecuali ada hadis yang menyatakan dengan jelas keharaman hewan-hewan tersebut.

Minuman yang Diharamkan

            Dari semua minuman yang tersedia, hanya satu kelompok saja yang diharamkan yaitu khamar.  Yang dimaksud dengan khamar yaitu minuman yang memabukkan sesuai dengan penjelasan Rasulullah saw berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari Abdullah bin Umar: setiap yang memabukkan adalah khamar (termasuk khamar) dan setiap khamar adalah diharamkan (semua hadis-hadis yang digunakan dalam pembahasan minuman yang diharamkan diperoleh dari Sabiq, 1987).  Dari penjelasan Rasulullah tsb jelas bahwa batasan khamar didasarkan atas sifatnya, bukan jenis bahannya, bahannya sendiri dapat apa saja.  Dalam hal ini ada perbedaan pendapat mengenai bahan yang diharamkan, ada yang mengharamkan khamar yang berasal dari anggur saja.  Akan tetapi penulis menyetujui pendapat yang  mengharamkan semua bahan yang bersifat memabukkan, tidak perlu dilihat lagi asal dan jenis bahannya, hal ini didasarkan atas kajian hadis-hadis yang berkenaan dengan itu, juga pendapat para ulama terdahulu. 
Mengenai sifat memabukkan sendiri dijelaskan lebih rinci lagi oleh Umar bin Khattab seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut: Kemudian daripada itu, wahai manusia! sesungguhnya telah diturunkan hukum yang mengharamkan khamar.  Ia terbuat dari salah satu lima unsur: anggur, korma, madu, jagung dan gandum.  Khamar itu adalah sesuatu yang mengacaukan akal.  Jadi sifat mengacaukan akal itulah yang dijadikan patokan.  Sifat mengacaukan akal itu diantaranya dicontohkan dalam Al-Quran yaitu membuat orang menjadi tidak mengerti lagi apa yang diucapkan seperti dapat dilihat pada surat An-Nisa: 43: Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.  Dengan demikian berdasarkan ilmu pengetahuan dapat diartikan sifat memabukkan tersebut yaitu suatu sifat dari suatu bahan yang menyerang syaraf yang mengakibatkan ingatan kita terganggu.
            Keharaman khamar ditegaskan dalam Al-Quran surat Al-Maaidah ayat 90-91: Hai orang-orang yang beriman!  Sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan-perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan.  Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.  Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menumbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran meminum khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang.  Maka berhentilah kamu mengerjakan perbuatan itu.
            Dengan berpegang pada definisi yang sangat jelas tersebut diatas maka kelompok minuman yang disebut dengan minuman keras atau minuman beralkohol (alcoholic beverages) termasuk khamar.  Sayangnya, banyak orang mengasosiasikan minuman keras ini dengan alkohol saja sehingga yang diharamkan berkembang menjadi alkohol (etanol), padahal tidak ada yang sanggup meminum etanol dalam bentuk murni karena akan menyebabkan kematian. 
Etanol memang merupakan komponen kimia yang terbesar (setelah air) yang terdapat pada minuman keras, akan tetapi etanol bukan satu-satunya senyawa kimia yang dapat menyebabkan mabuk, banyak senyawa-senyawa lain yang terdapat pada minuman keras juga bersifat memabukkan jika diminum pada konsentrasi cukup tinggi.  Komponen-komponen ini misalnya metanol, propanol, butanol (Etievant, 1991).  Secara umum, golongan alkohol bersifat narkosis (memabukkan), demikian juga komponen-komponen lain yang terdapat pada minuman keras seperti aseton, beberapa ester dll (Bretherick, 1986). 
Secara umum, senyawa-senyawa organik mikromolekul dalam bentuk murninya kebanyakan adalah racun.  Sebagai contoh, asetaldehida terdapat pada jus orange walaupun dalam jumlah kecil (3-7 ppm) (Shaw, 1991).  Jika kita lihat sifatnya (dalam bentuk murninya), asetaldehida juga bersifat narkosis, walaupun hanya menghirup uapnya (Bretherick, 1986).  Oleh karena itu, kita tidak dapat menentukan keharaman minuman hanya dari alkoholnya saja, akan tetapi harus dilihat secara keseluruhan, yaitu apabila keseluruhannya bersifat memabukkan maka termasuk kedalam kelompok khamar.  Apabila sudah termasuk kedalam kelompok khamar maka sedikit atau banyaknya tetap haram, tidak perlu lagi dilihat berapa kadar alkoholnya.
            Apabila yang diharamkan adalah etanolnya, maka dampaknya akan sangat luas sekali karena banyak sekali makanan dan minuman yang mengandung alkohol, baik terdapat secara alami (sudah terdapat sejak bahan pangan tersebut baru dipanen dari pohon) seperti pada buah-buahan, atau terbentuk selama pengolahan seperti kecap.  Akan tetapi kita mengetahui bahwa buah-buahan segar dan kecap tidak menyebabkan mabuk.  Disamping itu, apabila alkohol diharamkan maka ketentuan ini akan bertentangan dengan penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah saw tentang jus buah-buahan dan pemeramannya seperti tercantum dalam hadis-hadis berikut:
1. Minumlah itu (juice) selagi ia belum keras.  Sahabat-sahabat bertanya: Berapa lama ia menjadi keras?  Ia menjadi keras dalam tiga hari, jawab Nabi. (Hadis Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Umar).
2. Bahwa Ibnu Abbas pernah membuat juice untuk Nabi saw.  Nabi meminumnya pada hari itu, besok dan lusanya hingga sore hari ketiga.  Setelah itu Nabi menyuruh khadam menumpahkan atau memusnahkannya. (Hadis Muslim berasal dari Abdullah bin Abbas).
3. Buatlah minuman anggur!.  Tetapi ingat, setiap yang memabukkan adalah haram  (Hadis tercantum dalam kitab Fiqih Sunah karangan Sayid Sabiq, 1987).
Pemeraman juice pada suhu ruang dan udara terbuka sampai dua hari jelas secara ilmiah dapat dibuktikan akan mengakibatkan pembentukan etanol, tetapi memang belum sampai pada kadar yang memabukkan, hal ini juga dapat terlihat pada pembuatan tape.  Sebelum diperam pun juice sudah mengandung alkohol, juice jeruk segar misalnya dapat mengandung alkohol sebanyak 0.15%.  Dari pembahasan tersebut diatas jelaslah bahwa pendapat yang mengatakan diharamkannya alkohol lemah, bahkan bertentangan dengan hadis Rasulullah saw.  Apabila alkohol diharamkan, maka seharusnya alkohol tidak boleh digunakan untuk sterilisasi alat-alat kedokteran, campuran obat, pelarut (pewarna, flavor, parfum, obat, dll), bahkan etanol harus enyah dari laboratorium-laboratorium.  Jelas hal ini akan sangat menyulitkan.  Disamping itu ingatlah firman Allah dalam surat Al-Maiadah ayat 87: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Allah telah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.  Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
            Ada pula yang berpendapat bahwa etanol itu haram, akan tetapi etanol dapat digunakan dalam pengolahan pangan asalkan pada produk akhir tidak terdeteksi lagi adanya etanol.  Pendapat ini lemah karena dua hal; pertama, berdasarkan hukum fiqih, apabila suatu makanan atau minuman tercampur dengan bahan yang haram maka menjadi haramlah ia (Ada pula yang berpendapat bahwa hal ini dibolehkan sepanjang tidak merubah sifat-sifat makanan atau minuman tersebut.  Pendapat ini hasil qias terhadap kesucian air yang tercampuri bahan yang najis, sepanjang tidak merubah sifat-sifat air maka masih tetap suci.  Penulis tidak sependapat dengan pandangan ini karena masalah kehalalan makanan dan minuman tidak bisa disamakan dengan masalah kesucian air, keduanya merupakan dua hal yang berbeda).  Kedua, secara teori tidak mungkin dapat menghilangkan suatu bahan sampai 100 persen apabila bahan tersebut tercampur ke dalam bahan lain, dengan kata lain apabila etanol terdapat pada bahan awalnya, maka setelah pengolahan juga masih akan terdapat pada produk akhir, walaupun dengan kadar yang bervariasi tergantung pada jumlah awal etanol dan kondisi pengolahan yang dilakukan.  Hal ini dapat dibuktikan di laboratorium.
            Walaupun bukan etanol yang diharamkan tetapi minuman beralkohol, akan tetapi penggunaan etanol untuk pembuatan bahan pangan harus dibatasi, untuk menghindari penyalahgunaan dan menghindari perubahan sifat bahan pangan dari tidak memabukkan menjadi memabukkan.  Etanol dapat digunakan dalam proses ekstraksi, pencucian atau pelarutan, akan tetapi sisa etanol pada produk akhir harus dihilangkan sedapat mungkin, sehingga hanya tersisa sangat sedikit sekali.  Etanol tidak boleh digunakan sebagai solven akhir suatu bahan, misal digunakan sebagai pelarut bahan flavor dan pewarna.
            Batasan khamar ini nampaknya tidak terbatas pada minuman saja mengingat ada hadis yang mengatakan setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram (Hadis Muslim); Semua yang mengacaukan akal dan semua yang memabukkan adalah haram (Hadis Abu Daud).  Dengan demikian segala hal yang mengacaukan akal dan memabukkan seperti berbagai jenis bahan narkotika termasuk ecstasy adalah haram.
            Disamping makanan dan minuman yang diharamkan seperti telah dijelaskan diatas, ada beberapa kaidah fiqih yang sering digunakan dalam menentukan halal haramnya bahan pangan.  Kaidah tersebut diantaranya adalah:
a.       Semua yang bersifat najis haram untuk dimakan.
b.      Manakala bercampur antara yang halal dengan yang haram, maka dimenangkan yang haram.
c.       Apabila banyaknya bersifat memabukkan maka sedikitnya juga haram.

3. Hukum Najis

               Pada saat ini begitu banyak bahan-bahan yang dapat digunakan untuk kosmetika.  Sayangnya, banyak dari bahan-bahan tersebut berasal dari hewan, bahkan dari manusia.  Hal ini jelas akan berdampak pada hukum kenajisan dari kosmetika tersebut.  Tentu saja kosmetika haruslah hanya terbuat dari bahan-bahan yang tidak najis agar kosmetika tersebut halal dipakai, apalagi kosmetika yang dipakai pada bagian tubuh yang berhubungan dengan konsumsi makanan seperti lipstik, bukan hanya tidak boleh mengandung bahan yang najis tapi juga tidak boleh mengandung bahan yang haram karena dapat terkonsumsi secara tidak sengaja.  Berdasarkan hal hal yang dikemukakan tersebut maka pentinglah kiranya untuk mengkaji kembali bahan bahan apa saja yang termasuk kedalam kategori najis ini.
               Berdasarkan kajian terhadap empat kitab berikut ini: 1. Fiqih Islam tulisan Sulaiman Rasyid, 2. Fikih Sunnah tulisan Sayid Sabiq (terjemahan), 3. Subulus Salam terjemahan oleh Abubakar Muhammad, 4. Bidayatul Mujtahid tulisan Ibnu Rusyd (terjemahan), ternyata banyak sekali perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah najis ini dengan berbagai argumentasinya.  Perbedaan terutama dalam hal penafsiran suatu hadis atau ayat Al-Qur'an, apalagi kalau membaca bukunya Ibnu Rusyd kepala bisa pening dengan berbagai perbedaan pendapat tersebut.  Akan tetapi dengan mengetahui latar belakang perbedaan pendapat ini justru kita bisa memilih mana sebetulnya yang paling dapat diterima dan paling lengkap.   Dari kajian ini, buku Fikih Sunnah tulisan Sayid Sabiq sebagai yang paling lengkap dan paling dapat diterima, dalam arti sudah berusaha mengakomodasi berbagai perbedaan pendapat, kalaupun masih ada yang masih belum sepakat biasanya beliau sebutkan (walaupun masih perlu dilengkapi dari buku-buku lain karena masih ada satu dua hal yang masih kurang dalam buku tersebut).
               Berdasarkan buku Fikih Sunnahnya Sayid Sabiq tersebut maka yang termasuk kedalam najis adalah:
1. Bangkai
2. Darah
3. Daging babi
4. Muntah (kalau muntah sedikit dimaafkan)
5. Kencing manusia
6. Kotoran manusia
7. Wadi
8. Madzi
9. Mani
10. Kencing dan tahi binatang yang tidak dimakan dagingnya
11. Binatang jalallah
12. Khamar
13. Anjing
               Mengingat yang banyak menjadi masalah adalah bahan-bahan yang berasal dari hewan, khususnya bangkai, maka berikut ini akan dijelaskan lebih rinci masalah bangkai.  Dibawah ini dikutipkan langsung apa yang ada dalam buku Sayid Sabiq (sebagian diringkaskan).
               Bangkai ialah yang mati begitu saja, artinya tanpa disembelih menurut ketentuan agama.  Termasuk juga dalam hal ini apa yang dipotong dari binatang hidup.  Dikecualikan dari itu:
a. Bangkai ikan dan belalang
b. Bangkai binatang yang tidak mempunyai darah mengalir seperti semut, lebah dan lain-lain.
c. Tulang dari bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku, dan kulit serta apa yang sejenis dengan itu hukumnya suci.  Dasar yang digunakan adalah hadis:
c.1. Berkata Az-Zuhri mengenai tulang belulang bangkai seperti misalnya gajah dan lain-lain "Saya dapati orang-orang dari ulama-ulama Salaf mengambilnya sebagai sisir dan menjadi minyak, demikian itu tidak jadi apa-apa" (Riwayat Bukhari).
c.2. "Majikan dari Maimunah menyedekahkan kepadaku seekor domba, tiba-tiba ia mati.  Kebetulan Rasulullah saw. lewat, maka sabdanya: "Kenapa tidak tuan-tuan ambil kulitnya buat disamak, hingga dapat dimanfaatkan?". "Bukankah itu bangkai?" ujar mereka. "Yang diharamkan ialah memakannya", ujar Nabi pula." (Hadis riwayat Jama'ah kecuali Ibnu Majah yang didalam riwayatnya tersebut "Dari maimunah", sementara dalam riwayat Bukhari dan Nasa'i tidak disebutkan soal menyamak).
c.3. Dan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia membacakan ayat berikut ini: "Katakan: Menurut apa yang diwahyukan kepadaku tidak kujumpai makanan yang diharamkan kecuali bangkai" (sampai akhir ayat 145 dari surat Al An'am). Kemudian ulasannya: "Yang diharamkan itu hanyalah apa yang dimakan.  Mengenai kulit, gigi, tulang, rambut dan bulu, maka ia halal." (Hadis riwayat Ibnul Mundzir dan Ibnu Hatim).
               Dari hadis hadis yang dikemukakan diatas maka ulama menetapkan apa yang disebut dengan istihalah, yakni zat yang mengalami proses perubahan semua sifat-sifatnya dan menimbulkan akibat hukum: dari benda najis atau mutanajjis menjadi benda suci dan dari benda yang diharamkan menjadi benda yang dibolehkan (mubah).  Contoh dalam hal ini yaitu kulit bangkai yang tadinya najis menjadi tidak najis manakala telah disamak.  Masalahnya sekarang, masih perlu ditetapkan apa yang dimaksud dengan perubahan sifat-sifat tersebut secara lebih operasional sehingga kita dapat dengan lebih mudah mana mana sebetulnya yang bisa masuk kedalam istihalah.  Sebagai contoh, gliserin dari lemak hewan dibuat dengan cara menghidrolisa lemak hewan sehingga asam lemak yang ada pada trigliserida lemak hewan terlepas dan tinggalah gliserin yang dapat dipisahkan dari asam lemaknya serta bahan lainnya.  Pertanyaannya, apakah gliserin ini suci?, atau apakah gliserin ini termasuk istihalah?  Tentu akan banyak sekali bahan-bahan kosmetika yang serupa dengan gliserin ini, oleh karena itu lagi-lagi sangatlah diperlukan adanya kepastian hukum terhadap bahan-bahan ini agar kita tidak ragu-ragu dalam menggunakannya.  Untuk itu, diperlukan kerjasama antara para ulama dan ilmuwan dalam menetapkan status hukum bahan-bahan kosmetika ini.
               Perlu diingat bahwa dalam penetapan suatu hukum, bukan hanya masalah materi saja yang dipertimbangkan, akan tetapi masalah-masalah lain seperti masalah pemanfaatan barang haram (intifa').  Dalam kasus babi misalnya, pemanfaatan babi dan unsur-unsur babi tidak diperkenankan (Ijma sebagian ulama, difatwakan oleh MUI pada tahun 1994).  Itu sebabnya ada yang berpendapat jika babi haram dan najis maka turunannya pun tidak boleh dimanfaatkan, tentu bisa ada pendapat lainnya yang tidak sama mengingat ada pula Imam yang membolehkan menggunakan bulu babi sebagai benang.  Walaupun demikian, sekali lagi ditegaskan bahwa masalah najis ini belum banyak dibahas lagi, khususnya dalam kaitan penggunaannya untuk kosmetika dan toilettries, secara lebih khusus lagi adalah bahan bahan turunan dari bangkai dan babi yang ditengarai banyak digunakan dalam kosmetika dan toilettries.
               Sebagai kelengkapan dalam masalah hukum Islam mengenai makanan dan minuman serta bahan-bahan najis maka pada Lampiran 1 disajikan fatwa fatwa MUI yang telah ditetapkan dalam masalah ini.
 
4. Hukum Positif yang Berkenaan Dengan Halal

            “Makanlah makanan yang halal lagi baik”, demikianlah perintah Allah kepada umat Islam seperti tertera dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Maaidah ayat 88.  Dengan demikian mengkonsumsi makanan yang halal merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam.  Akan tetapi, dalam era global sekarang ini penetapan kehalalan suatu produk pangan tidaklah semudah pada waktu teknologi belum begitu berkembang.  Dengan demikian diperlukan adanya suatu jaminan dan kepastian akan kehalalan produk produk pangan yang dikonsumsi oleh umat Islam yang merupakan bagian terbesar penduduk Indonesia (lebih dari 85%).
            Jaminan kehalalan suatu produk pangan dapat diwujudkan diantaranya dalam bentuk sertifikat halal yang menyertai suatu produk pangan, yang dengan sertifikat tersebut si produsen dapat mencantumkan logo halal pada kemasannya.  Masalahnya, bagaimana menjamin bahwa sertifikat halal tersebut telah memenuhi kaidah syariah yang ditetapkan dalam penetapan kehalalan suatu produk pangan, dalam hal ini akan berkaitan dengan kompetensi lembaga yang mengeluarkan sertifikat, standar halal yang digunakan, personil yang terlibat dalam sertifikasi dan auditing, dan yang tak kalah pentingnya adalah mekanisme sertifikasi halal itu sendiri.  Dengan demikian, diperlukan adanya suatu standar dan sistem yang dapat menjamin kebenaran hasil sertifikasi halal.
            Kasus-kasus besar yang berkaitan dengan kehalalan produk pangan telah terjadi di Indonesia yang telah banyak merugikan banyak pihak dan menimbulkan keresahan masyarakat.  Kasus pertama terjadi pada tahun 1988 yaitu adanya issue lemak babi pada banyak produk pangan, sedangkan kasus kedua adalah haramnya MSG Ajinomoto yang sebelumnya telah dinyatakan halal, ini terjadi pada tahun 2000.  Belajar dari kasus yang terjadi pada tahun 1988 tersebut maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) berusaha berperan untuk menenteramkan umat Islam dalam masalah kehalalan produk pangan dengan cara mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI) yang bertugas untuk melakukan pengkajian kehalalan produk pangan, obat dan kosmetika.  Sebagai upaya untuk memberi kepastian mengenai kehalalan produk pangan maka pada perjalanan selanjutnya LPPOM MUI mulai melakukan kegiatan sertifikasi halal bagi produk pangan pada tahun 1994.  Kegiatan ini ternyata masih menemui kendala karena pihak pemerintah (melalui Depkes dan Depag) sebagai pihak yang merasa berwenang dalam pengawasan pengaturan produk pangan dan kaitannya dengan halal sekalipun, merasa pula berhak dalam melakukan sertifikasi halal ini.  Melalui berbagai pertemuan dan pembahasan maka tercapailah titik temu dimana masalah sertifikasi halal akan ditangani oleh tiga lembaga yaitu MUI, Depkes dan Depag dimana ketiga lembaga tersebut menandatangani SKB (surat keputusan bersama) 3 lembaga tersebut yang dilakukan pada tahun 1996.
            Dengan bantuan kementerian negara urusan pangan maka lahirlah Undang-Undang Pangan pada tahun 1996 dimana masalah halal juga diperhatikan walaupun sangat disayangkan masih bersifat ambiguous (akan didiskusikan lebih lanjut).  Melalui perjuangan yang panjang yang dimotori oleh YLKI lahir pula Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mulai berlaku tahun 2000 dimana masalah label halal tercakup dalam UU ini.  Sebelumnya, lahir pula Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan pada tahun 1999 dimana label halal juga diatur dalam peraturan tersebut.
            Seperti tercantum dalam PP No. 69 tentang Label dan Iklan Pangan, Komite Akreditasi Nasional (KAN), Badan Standarisasi Nasional (BSN) merupakan lembaga yang melakukan akreditasi terhadap lembaga pemeriksa yang akan memeriksa kebenaran pernyataan halal yang akan dicantumkan pada label suatu produk pangan.  Dengan dasar inilah BSN membentuk suatu tim Pengembangan Akreditasi Lembaga Sertifikasi Halal pada tahun 2001.  Tim ini beranggotakan personil yang mewakili lembaga pemerintah (Deptan, Badan POM, Deperindag, Depag), asosiasi industri pangan, konsumen (YLKI dan Yayasan Lembaga Konsumen Muslim), perguruan tinggi, LPPOM MUI dan BSN sendiri.  Tim ini telah menghasilkan standar-standar yang diperlukan dalam masalah sertifikasi halal serta sistem sertifikasi halalnya itu sendiri.

Dasar Hukum Yang Berkenaan Dengan Sertifikasi Halal

Undang-Undang RI No. 7 tahun 1996 Tentang Pangan

Didalam UU No. 7 tahun 1996 beberapa pasal berkaitan dengan masalah kehalalan produk pangan, yaitu dalam Bab Label dan Iklan Pangan pasal 30, 34 dan 35.  Bunyi pasal dan penjelasan pasal tersebut adalah sbb:

Pasal 30

1)      Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan kedalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, didalam dan atau di kemasan pangan.
2)      Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai:
a)      Nama produk
b)      Daftar bahan yang digunakan
c)      Berat berish atau isi berish
d)     Nama dan alamat pihak yang memproduksi
e)      Keterangan tentang halal; dan
f)       Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa

Penjelasan pasal 30 ayat 2 (e): keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam.  Namun, pencatumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan dan atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam.  Adapun keterangan tentang halal dimaksudkan agar masyarakat terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram).  Dengan pencantuman halal pada label pangan, dianggap telah terjadi pernyataan dimaksud dan setiap orang yang membuat pernyataan tersebut bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut.

Komentar dari penulis: Penjelasan ayat ini aneh karena bertentangan dengan bunyi ayatnya sendiri, pada ayat 2 diatas berbunyi bahwa keterangan tentang halal wajib dicantumkan, akan tetapi dalam penjelasan dinyatakan bahwa kewajiban ini baru berlaku apabila si produsen ingin menyatakan bahwa produknya halal.  Keanehan kedua adalah kebenaran pernyataan halal walaupun tanggungjawab si produsen akan tetapi tidak ada kewajiban untuk diperiksakan dulu kehalalannya oleh lembaga yang berwenang, jadi seakan-akan kehalalan hanya ditentukan oleh produsen, bagi yang tidak mempercayainya, silahkan buktikan kebenarannya.

Pasal 34

1)      Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.

Penjelasan: dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya.

Komentar dari penulis: Apabila pernyataan halal hanya tanggungjawab produsen tanpa memeriksakannya ke pihak ketiga maka hanya produsen saja yang mengetahui komposisi dan proses pembuatan produk pangan tersebut.  Jika ada keraguan konsumen tentang produk tersebut, bagaimana konsumen mengetahui komposisi dan proses pembuatannya?  Walaupun komposisinya tercantum dalam label, akan tetapi dari segi kehalalan ini tidak menjamin, ambil contoh jika dalam komposisi tercantum daging ayam, apakah konsumen mengetahui bahwa daging ayamnya ini halal atau tidak?  Dengan demikian tidak salah jika dalam hal ini UU Pangan dituduh lebih berpihak kepada produsen karena telah memberikan keleluasaan kepada produsen, sedangkan konsumen sendiri berada pada pihak yang lemah karena tidak memiliki akses untuk mengetahui apa yang dikerjakan produsen (pemilihan bahan dan proses).


Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan

Ada dua pasal yang berkaitan dengan sertifikasi halal dalam PP No. 69 ini yaitu pasal 3, ayat (2), pasal 10 dan 11.

Pasal 3, ayat (2)
Label berisikan keterangan sekurang-kurangnya:
a.    Nama produk
b.    Daftar bahan yang digunakan
c.    Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia
d.   Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa

Komentar dari penulis: pasal ini tidak sesuai dengan pasal 30 UU Pangan tahun 1996 karena selain yang yang empat tersebut diatas dalam pasal 30 ada lagi tambahan: berat bersih dan isi bersih serta keterangan tentang halal.  Karena PP ini statusnya ada dibawah UU, maka yang berlaku seharusnya pasal 30 UU Pangan.  Dari kenyataan ini kelihatannya perlu ada amandemen UU atau PP karena tidak semuanya sinkron.

Pasal 10

1)      Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label.
2)      Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label.

Penjelasan pasal 10: pencantuman keterangan halal atau tulisan “halal” pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam.  Penggunaan bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf Latin, harus digunakan bersamaan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin.  Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang sangat penting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat yang beragama Islam dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram).  Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan, tetapi harus pula dibuktikan dalam proses produksinya.

Pasal 11
1)      Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1), setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)      Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Mentri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.

Penjelasan pasal 11: (1) pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela.  Namun setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakannya sebagai produk yang halal, sesuai ketentuan ia wajib mencantumkan tulisan halal pada label produknya.  Untuk menghindarkan timbulnya keraguan di kalangan umat Islam terhadap kebenaran pernyataan halal tadi, dan dengan demikian untuk kepentingan kelangsungan atau kemajuan usahanya, sudah pada tempatnya bila pangan yang dinyatakannya sebagai halal tersebut diperiksakan terlebih dahulu pada lembaga yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).  Pemeriksaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan ketenteraman dan keyakinan umat Islam bahwa pangan yang akan dikonsumsi memang aman dari segi agama. (2). Lembaga keagamaan yang dimaksudkan adalah Majelis Ulama Indonesia.  Pedoman ini bersifat umum, dan antara lain meliputi persyaratan bahan, proses atau produknya.



Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 Tentang Perubahan Atas keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 82/Menkes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan.

            Kepmenkes ini memuat perubahan penting Kepmenkes sebelumnya, kelihatannya perubahan ini sebagai konsekwensi adanya SKB tiga lembaga yaitu Depag, Depkes dan MUI.  Pasal-pasal yang berubah dan sekaligus relevan dengan masalah sertifikasi halal adalah sbb:
1.    Pasal 8
Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencatuman tulisan “Halal” wajib siap diperiksa oleh petugas Tim Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal.

2. Pasal 10
(1) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 8 dan hasil pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud Pasal 9 dilakukan evaluasi oleh Tim Ahli Majelis Ulama Indonesia.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) disampaikan kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia untuk memperoleh Fatwa.
(3) Fatwa MUI sebagaimana dimaksud ayat (2) berupa pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan.

3. Pasal 11
Persetujuan pencantuman tulisan “Halal” diberikan berdasarkan Fatwa dari Komisi Fatwa MUI.

4.      Pasal 12
(1) Berdasarkan Fatwa dari MUI, Direktur Jenderal memberikan:
a. Persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat “Halal”
b. Penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat “Halal”
(2) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis kepada pemohon disertai alasan.

Komentar dari penulis: Pada prakteknya, jika ada suatu perusahaan ingin mencantumkan label halal (sekarang permohonannya ke badan POM), maka akan dilakukan pemeriksaan (auditing) ke perusahaan tersebut (setelah melengkapi persyaratan yang diminta) oleh Tim Gabungan dari badan POM, LPPOM MUI dan Depag.  Untuk perusahaan lain yang tidak memerlukan label halal tapi memerlukan sertifikat halal maka pengajuan sertifikat halal langsung ke MUI.  Kasus ini misalnya terjadi pada produsen penghasil ingredien seperti industri flavor.


SMS Onlain Geratis

Syarat dan Kondisi menurut SMS ONLAIN GERATIS(http://sms-online.web.id) * Dilarang keras mengirim sms penipuan, asusila, atau segala bentuk aktifitas yang bertentangan dengan hukum positif di Indonesia. * Isi sms adalah diluar tanggung jawab penyelenggara sms-online.web.id * Penyelenggara sms-online.web.id tidak menjamin bahwa sms pasti sampai ke tujuan, namun status pengiriman dapat dilihat sendiri pada halaman INBOX & STATUS. * Penyelenggara sms-online.web.id berhak menghapus sms anda agar tidak terkirim tanpa harus menjelaskan alasannya.