LANDASAN HUKUM
SYARIAT DAN HUKUM POSITIF
HALAL DAN HARAM
- Prinsip-Prinsip Halal dan Haram
Dalam bukunya yang berjudul Halal
dan Haram, Yusuf Qardhawi menjelaskan beberapa prinsip-prinsip Islam tentang
halal dan haram yang perlu kita ketahui bersama. Prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut.
a.
Segala sesuatu pada asalnya mubah. Asal segala sesuatu adalah halal dan mubah,
dan tidak ada yang haram kecuali apa yang disebutkan oleh nash yang shahih dan
tegas dari Pembuat Syari’at yang mengharamkannya. Apabila tidak terdapat nash yang shahih,
seperti sebagian hadis yang dha’if, atau tidak tegas penunjukkannya kepada yang
haram, maka tetaplah sesuatu itu pada hukum asalnya, yaitu mubah. Salah satu dasar yang mendukung prinsip ini
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Bazzar dimana Rasulullah
saw bersabda: “Apa yang dihalalkan Allah
didalam kitab-Nya adalah halal, dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram;
sedang apa yang didiamkan-Nya adalah dimaafkan (diperkenankan). Oleh karena itu terimalah perkenan dari Allah
itu, karena sesungguhnya Allah tidak akan pernah lupa sama sekali.”
b.
Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah semata. Hanya Allah yang berhak
menetapkan mana yang halal mana yang haram sedangkan peran ulama adalah sebatas
merumuskan dan menjabarkan lebih lanjut apa-apa yang dihalalkan atau diharamkan
Allah. Didalam Al Qur’an secara jelas
Allah menetapkan hal ini. “Katakanlah:Terangkanlah
kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.
Katakanlah: Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini)
atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59). Didalam ayat lain Allah juga berfirman: “Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta: ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung.” (An-Nahl:
116).
c.
Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sama dengan
syirik.
Dasar yang digunakan adalah firman Allah didalam hadis qudsi yang
diriwayatkan oleh Muslim: “Sesungguhnya
Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dengan sikap yang lurus. Lalu datanglah syetan kepada mereka, lantas
membelokkan mereka dari agama mereka, dan mengharamkan atas mereka apa yang
telah Kuhalalkan buat mereka, serta menyuruh mereka mempersekutukan-Ku dengan
sesuatu yang Aku tidak menurunkan keterangan padanya.”
d.
Mengharamkan yang halal akan mengakibatkan timbulnya keburukan dan bahaya. Sesuatu yang
semata-mata menimbulkan bahaya adalah haram.
Sesuatu yang menimbulkan manfaat adalah halal. Sesuatu yang bahayanya lebih besar daripada
manfaatnya adalah haram. Sesuatu yang
manfaatnya lebih besar adalah halal.
e.
Yang halal tidak memerlukan yang haram. Islam tidak mengharamkan sesuatu atas mereka
kecuali digantinya dengan yang lebih baik dan mengatasi kebutuhannya. Islam mengharamkan mereka melakukan riba, dan
menggantinya dengan perniagaan yang menguntungkan.
f.
Apa yang membawa kepada yang haram adalah haram. Islam mengharamkan segala
sesuatu yang dapat menjadi perantara dan membawa kepada yang haram. Islam mengharamkan zina, maka segala hal yang
dapat menghantarkan kepada perzinaan seperti berpakaian yang tidak menutup
aurat, berkhalwat, pergaulan bebas, pronografi, dll juga diharamkan. Itulah sebabnya maka para fuqaha menetapkan
prinsip “Apa saja yang membawa kepada yang haram, maka ia adalah haram.” Dalam kaitan ini Islam juga menetapkan bahwa dosa
perbuatan haram tidak terbatas pada pelakunya saja, tapi semua orang yang
turut andil didalamnya, baik dengan tenaga, materi maupun moral. Dalam masalah khamar misalnya, Rasulullah saw
melaknat peminumnya, pemerahnya, penghidangnya, yang diberi hidangan, yang
memakan hasil usaha khamar, dll.
g.
Bersiasat terhadap hal yang haram adalah haram. Sebagaimana halnya Islam
mengharamkan segala sesuatu yang membawa kepada yang haram berupa sarana-sarana
yang tampak, maka ia juga mengharamkan bersiasat untuk melakukannya dengan
sarana-sarana yang tersembunyi dan siasat syetan.
h.
Niat yang baik tidak dapat menghalalkan yang haram.
Sesuatu yang haram tetap saja haram walaupun dalam mencapai yang haram
tersebut dikandung niat yang baik, tujuan yang mulia dan sasaran yang dianggap
tepat. Islam tidak ridha menjadikan yang
haram sebagai jalan untuk mencapai tujuan yang terpuji, sebagai contoh Islam
tidak memperkenankan keuntungan penjualan khamar untuk pembangunan masjid. Tujuan yang mulia harus dicapai dengan cara
yang benar.
i.
Menjauhkan diri dari syubhat karena takut terjatuh dalam haram. “Yang halal itu sudah jelas dan yang haram itu juga
sudah jelas. Akan tetapi diantara
keduanya terdapat perkara-perkara yang belum jelas (syubhat), yang tidak
dimengerti oleh banyak orang, apakah dia itu halal ataukah haram? Barangsiapa yang menjauhinya karena hendak
membersihkan agama dan kehormatannya, maka dia akan selamat; dan barangsiapa
yang melakukan sesuatu darinya hampir-hampir ia terjatuh kedalam yang haram,
sebagaimana orang yang menggembala kambing disekitar daerah larangan, dia
hampir-hampir akan jatuh kepadanya.
Ingatlah, bahwa setiap raja mempunyai daerah larangan. Ingatlah, bahwa daerah larangan Allah ialah
semua yang diharamkan.” (Hadis riwayat Bukhari,
Muslim dan lain-lainnya dari An-Nu’man bin Basyir. Lafal ini adalah riwayat Tirmidzi).
j.
Sesuatu yang haram berlaku untuk semua orang.
Dalam mengharamkan sesuatu Islam tidak pandang bulu, tidak ada
keringanan bagi sebagian orang kecuali dalam keadaan darurat. Tidak ada keringanan terhadap misalnya,
keturunan nabi atau raja atau orang yang dianggap alim.
k.
Keadaan yang terpaksa membolehkan yang terlarang.
Didalam surat
Al-Baqarah ayat 173 Allah berfirman: “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya), sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah maka pengampun lagi maha penyayang.”
2. Makanan danMinuman yang Diharamkan
Dan makanlah
makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan
bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadanya (Al-Maaidah: 88).
Ayat tersebut
diatas jelas-jelas telah menyuruh kita hanya memakan makanan yang halal dan
baik saja, dua kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang dapat diartikan halal
dari segi syariah dan baik dari segi kesehatan, gizi, estetika dan lainnya.
Sesuai dengan
kaidah ushul fiqih, segala sesuatu yang Allah tidak melarangnya berarti
halal. Dengan demikian semua makanan dan
minuman diluar yang diharamkan adalah halal.
Oleh karena itu, sebenarnya sangatlah sedikit makanan dan minuman yang
diharamkan tersebut. Walaupun demikian,
pada zaman dimana teknologi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
manusia, maka permasalahan makanan dan minuman halal menjadi relatif kompleks,
apalagi yang menyangkut produk-produk bioteknologi.
Makanan yang Diharamkan
Sesungguhnya Allah
hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut nama selain Allah.
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah maha
pengampun lagi maha penyayang (Al-Baqarah:173).
Dari ayat diatas
jelaslah bahwa makanan yang diharamkan pada pokoknya ada empat:
1. Bangkai: yang termasuk kedalam kategori bangkai ialah hewan yang
mati dengan tidak disembelih, termasuk kedalamnya hewan yang matinya tercekik,
dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh hewan buas, kecuali yang sempat kita
menyembelihnya (Al-Maaidah:3). Bangkai yang
boleh dimakan berdasarkan hadis yaitu bangkai ikan dan belalang (Hamka, 1982).
2. Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir
(Al-An’aam:145), yang dimaksud adalah segala macam darah termasuk yang keluar
pada waktu penyembelihan (mengalir), sedangkan darah yang tersisa setelah
penyembelihan yang ada pada daging setelah dibersihkan dibolehkan (Sabiq,
1987). Dua macam darah yang dibolehkan
yaitu jantung dan limpa, kebolehannya didasarkan pada hadis (Hamka, 1982).
3. Daging babi. Kebanyakan
ulama sepakat menyatakan bahwa semua bagian babi yang dapat dimakan haram,
sehingga baik dagingnya, lemaknya, tulangnya, termasuk produk-produk yang
mengandung bahan tersebut, termasuk semua bahan yang dibuat dengan menggunakan
bahan-bahan tersebut sebagai salah satu bahan bakunya. Hal ini misalnya tersirat dalam Keputusan
Fatwa MUI bulan September 1994 tentang keharaman memanfaatkan babi dan seluruh
unsur-unsurnya (Majelis Ulama Indonesia, 2000).
4. Binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Menurut Hamka (1984), ini berarti juga
binatang yang disembelih untuk yang selain Allah (penulis mengartikan
diantaranya semua makanan dan minuman yang ditujukan untuk sesajian). Tentu saja semua
bagian bahan yang dapat dimakan dan produk turunan dari bahan ini juga haram
untuk dijadikan bahan pangan seperti berlaku pada bangkai dan babi.
Masalah pembacaan
basmalah pada waktu pemotongan hewan adalah masalah khilafiyah (Hamka, 1982),
ada yang mengharuskan membacanya, ada yang hanya menyunahkan saja (Hassan,
1985). Yang mengharuskan membacanya
berpegang pada surat
Al-An’aam ayat 121: dan janganlah kamu
memakan binatang yang tidak disebut nama Allah (ketika menyembelihnya),
sesungguhnya hal itu suatu kefasikan….
Bagi mereka yang menyunahkan membacanya berpegang pada hadis-hadis,
diantaranya hadis yang dirawikan oleh Bukhari, An-Nasa-i dan Ibnu Majah dari
hadis Aisyah bahwa suatu kaum datang kepada kami membawakan kami
daging, tetapi kami tidak tahu apakah disebut nama Allah atasnya atau
tidak. Maka menjawab Rasulullah saw:
“Kamu sendiri membaca bismillah atasnya, lalu makanlah!” Berkata yang merawikan: “Mereka itu masih
dekat kepada zaman kufur.” (Artinya baru masuk Islam) (Hamka, 1982).
Ada satu masalah lagi yang masih menjadi
khilafiyah yaitu sembelihan ahli kitab, ada yang membolehkan (Hamka, 1982;
Qardlawi, 1976) yang didasarkan diantaranya firman Allah dalam surat Al-Maaidah ayat 5: … dan makanan orang-orang yang diberi AlKitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka…. Kebolehan memakan hewan ternak (selain babi)
hasil sembelihan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) ini sepanjang cara
penyembelihannya sesuai dengan cara penyembelihan secara islami (menggunakan
pisau yang tajam, memotong urat lehernya dan hewan mengeluarkan darahnya pada waktu
disembelih yang berarti hewan belum mati pada waktu disembelih walaupun
dipingsankan dulu sebelumnya) (Hamka, 1982).
Yang mengharamkan sembelihan ahli kitab didasarkan pada ayat 121 surat Al-An’aam seperti
dituliskan diatas, dimana mereka menyembelih tidak atas nama Allah.
Disamping keempat
kelompok makanan yang diharamkan tersebut diatas, terdapat pula kelompok
makanan yang diharamkan karena sifatnya yang buruk seperti dijelaskan dalam surat Al-A`raaf:157 .....dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang
baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk...... Apa-apa saja yang buruk tersebut agaknya
dicontohkan oleh Rasulullah dalam beberapa hadis, diantaranya hadis Ibnu Abbas
yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan Muslim dan Ash Habussunan: Telah melarang Rasulullah saw memakan
tiap-tiap binatang buas yang bersaing (bertaring, penulis), dan tiap-tiap yang
mempunyai kuku pencengkraman dari burung.
Sebuah hadis lagi sebagai contoh, dari Abu Tsa`labah: Tiap-tiap yang bersaing dari binatang buas,
maka memakannya adalah haram (perawi hadis sama dengan hadis sebelumnya).
Hewan-hewan lain
yang haram dimakan berdasarkan keterangan pada hadis-hadis ialah himar kampung,
bighal, burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus, anjing, anjing gila,
semut, lebah, burung hud-hud, burung shard (Sabiq, 1987). Selain itu, ada lagi binatang yang tidak
boleh dimakan yaitu yang disebut jallalah.
Jallalah adalah binatang yang memakan kotoran, baik ia unta, sapi,
kambing, ayam, angsa, dll sehingga baunya berubah. Jika binatang itu dijauhkan dari kotoran
(tinja) dalam waktu lama dan diberi makanan yang suci, maka dagingnya menjadi
baik sehingga julukan jallalah hilang, kemudian dagingnya halal (Sabiq, 1987).
Ada pula Imam yang tidak mengkategorikan
makanan-makanan haram yang dijelaskan dalam hadis sebagai makanan haram, tetapi
hanya makruh saja. Pendapat ini dipegang
oleh penganut mazhab Maliki (Hamka, 1982; Hassan, 1985; Sabiq 1987). Akan tetapi, dengan menggunakan common sense saja agaknya sudah dapat
dirasakan penolakan untuk memakan binatang-binatang seperti binatang buas:
singa, anjing, ular, burung elang, dsb.
Oleh karena itu, barangkali pendapat Mazhab Syafi`i lah yang lebih kuat
yang mengharamkan makanan yang telah disebutkan diatas.
Ada pula pendapat yang mengatakan hewan yang
hidup di dua air haram, yang menurut mereka didasarkan pada hadis. Sayangnya, sampai saat ini penulis hanya
dapat menemukan pernyataan keharaman makanan tersebut di buku-buku fiqih tanpa
dapat berhasil menemukan sumber hadisnya yang jelas selain dari satu hadis yang
terdapat dalam kitab Bulughul Maram (Hassan, 1975): Dari `Abdurrahman bin `Utsman Al-Qurasyis-yi bahwasanya seorang tabib
bertanya kepada Rasulullah saw tentang kodok yang ia campurkan didalam satu
obat, maka Rasulullah larang membunuhnya (Diriwayatkan oleh Ahmad dan
disahkan oleh Hakim dan diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan Nasa`i). Dari hadis tersebut, dapat diinterpretasikan
bahwa larangan membunuh kodok sama dengan larangan memakannya. Akan tetapi larangan terhadap binatang
lainnya yang hidup di dua air seperti kodok tentulah tidak secara tegas
dinyatakan dalam hadis tersebut, mungkin itu hanya hasil qias saja. Jadi seharusnya yang diharamkan hanya kodok
saja, sedangkan hewan yang hidup di dua alam lainnya tidak diharamkan, kecuali
ada hadis yang menyatakan dengan jelas keharaman hewan-hewan tersebut.
Minuman yang Diharamkan
Dari semua minuman
yang tersedia, hanya satu kelompok saja yang diharamkan yaitu khamar. Yang dimaksud dengan khamar yaitu minuman
yang memabukkan sesuai dengan penjelasan Rasulullah saw berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari Abdullah bin Umar: setiap yang memabukkan adalah khamar
(termasuk khamar) dan setiap khamar adalah diharamkan (semua hadis-hadis
yang digunakan dalam pembahasan minuman yang diharamkan diperoleh dari Sabiq,
1987). Dari penjelasan Rasulullah tsb
jelas bahwa batasan khamar didasarkan atas sifatnya, bukan jenis bahannya,
bahannya sendiri dapat apa saja. Dalam
hal ini ada perbedaan pendapat mengenai bahan yang diharamkan, ada yang
mengharamkan khamar yang berasal dari anggur saja. Akan tetapi penulis menyetujui pendapat
yang mengharamkan semua bahan yang
bersifat memabukkan, tidak perlu dilihat lagi asal dan jenis bahannya, hal ini
didasarkan atas kajian hadis-hadis yang berkenaan dengan itu, juga pendapat
para ulama terdahulu.
Mengenai sifat memabukkan sendiri dijelaskan lebih rinci
lagi oleh Umar bin Khattab seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai
berikut: Kemudian daripada itu, wahai
manusia! sesungguhnya telah diturunkan hukum yang mengharamkan khamar. Ia terbuat dari salah satu lima unsur:
anggur, korma, madu, jagung dan gandum. Khamar itu adalah sesuatu yang mengacaukan
akal. Jadi sifat mengacaukan
akal itulah yang dijadikan patokan.
Sifat mengacaukan akal itu diantaranya dicontohkan dalam Al-Quran yaitu
membuat orang menjadi tidak mengerti lagi apa yang diucapkan seperti dapat
dilihat pada surat
An-Nisa: 43: Hai orang-orang yang
beriman! Janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan.
Dengan demikian berdasarkan ilmu pengetahuan dapat diartikan sifat
memabukkan tersebut yaitu suatu sifat dari suatu bahan yang menyerang syaraf
yang mengakibatkan ingatan kita terganggu.
Keharaman khamar
ditegaskan dalam Al-Quran surat
Al-Maaidah ayat 90-91: Hai orang-orang
yang beriman! Sesungguhnya meminum
khamar, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan anak panah
adalah perbuatan-perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menumbulkan permusuhan dan
kebencian diantara kamu lantaran meminum khamar dan berjudi itu dan menghalangi
kamu dari mengingat Allah dan sembahyang.
Maka berhentilah kamu mengerjakan perbuatan itu.
Dengan berpegang
pada definisi yang sangat jelas tersebut diatas maka kelompok minuman yang
disebut dengan minuman keras atau minuman beralkohol (alcoholic beverages)
termasuk khamar. Sayangnya, banyak orang
mengasosiasikan minuman keras ini dengan alkohol saja sehingga yang diharamkan
berkembang menjadi alkohol (etanol), padahal tidak ada yang sanggup meminum
etanol dalam bentuk murni karena akan menyebabkan kematian.
Etanol memang merupakan komponen kimia yang terbesar
(setelah air) yang terdapat pada minuman keras, akan tetapi etanol bukan
satu-satunya senyawa kimia yang dapat menyebabkan mabuk, banyak senyawa-senyawa
lain yang terdapat pada minuman keras juga bersifat memabukkan jika diminum
pada konsentrasi cukup tinggi.
Komponen-komponen ini misalnya metanol, propanol, butanol (Etievant,
1991). Secara umum, golongan alkohol
bersifat narkosis (memabukkan), demikian juga komponen-komponen lain yang
terdapat pada minuman keras seperti aseton, beberapa ester dll (Bretherick,
1986).
Secara umum, senyawa-senyawa organik mikromolekul dalam
bentuk murninya kebanyakan adalah racun.
Sebagai contoh, asetaldehida terdapat pada jus orange walaupun dalam
jumlah kecil (3-7 ppm) (Shaw, 1991). Jika
kita lihat sifatnya (dalam bentuk murninya), asetaldehida juga bersifat
narkosis, walaupun hanya menghirup uapnya (Bretherick, 1986). Oleh karena itu, kita tidak dapat menentukan
keharaman minuman hanya dari alkoholnya saja, akan tetapi harus dilihat secara
keseluruhan, yaitu apabila keseluruhannya bersifat memabukkan maka termasuk
kedalam kelompok khamar. Apabila sudah
termasuk kedalam kelompok khamar maka sedikit atau banyaknya tetap haram, tidak
perlu lagi dilihat berapa kadar alkoholnya.
Apabila yang
diharamkan adalah etanolnya, maka dampaknya akan sangat luas sekali karena
banyak sekali makanan dan minuman yang mengandung alkohol, baik terdapat secara
alami (sudah terdapat sejak bahan pangan tersebut baru dipanen dari pohon)
seperti pada buah-buahan, atau terbentuk selama pengolahan seperti kecap. Akan tetapi kita mengetahui bahwa buah-buahan
segar dan kecap tidak menyebabkan mabuk.
Disamping itu, apabila alkohol diharamkan maka ketentuan ini akan
bertentangan dengan penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah saw tentang jus
buah-buahan dan pemeramannya seperti tercantum dalam hadis-hadis berikut:
1. Minumlah itu (juice) selagi
ia belum keras. Sahabat-sahabat
bertanya: Berapa lama ia menjadi keras?
Ia menjadi keras dalam tiga hari, jawab Nabi. (Hadis Ahmad
diriwayatkan dari Abdullah bin Umar).
2. Bahwa Ibnu Abbas pernah
membuat juice untuk Nabi saw. Nabi
meminumnya pada hari itu, besok dan lusanya hingga sore hari ketiga. Setelah itu Nabi menyuruh khadam menumpahkan
atau memusnahkannya. (Hadis Muslim berasal dari Abdullah bin Abbas).
3. Buatlah minuman
anggur!. Tetapi ingat, setiap yang
memabukkan adalah haram (Hadis
tercantum dalam kitab Fiqih Sunah karangan Sayid Sabiq, 1987).
Pemeraman juice pada suhu ruang dan udara terbuka sampai
dua hari jelas secara ilmiah dapat dibuktikan akan mengakibatkan pembentukan
etanol, tetapi memang belum sampai pada kadar yang memabukkan, hal ini juga
dapat terlihat pada pembuatan tape.
Sebelum diperam pun juice sudah mengandung alkohol, juice jeruk segar
misalnya dapat mengandung alkohol sebanyak 0.15%. Dari pembahasan tersebut diatas jelaslah
bahwa pendapat yang mengatakan diharamkannya alkohol lemah, bahkan bertentangan
dengan hadis Rasulullah saw. Apabila
alkohol diharamkan, maka seharusnya alkohol tidak boleh digunakan untuk
sterilisasi alat-alat kedokteran, campuran obat, pelarut (pewarna, flavor,
parfum, obat, dll), bahkan etanol harus enyah dari
laboratorium-laboratorium. Jelas hal ini
akan sangat menyulitkan. Disamping itu
ingatlah firman Allah dalam surat
Al-Maiadah ayat 87: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Allah telah halalkan
bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Ada pula yang berpendapat bahwa etanol itu
haram, akan tetapi etanol dapat digunakan dalam pengolahan pangan asalkan pada
produk akhir tidak terdeteksi lagi adanya etanol. Pendapat ini lemah karena dua hal; pertama,
berdasarkan hukum fiqih, apabila suatu makanan atau minuman tercampur dengan
bahan yang haram maka menjadi haramlah ia (Ada pula yang berpendapat bahwa hal ini
dibolehkan sepanjang tidak merubah sifat-sifat makanan atau minuman
tersebut. Pendapat ini hasil qias
terhadap kesucian air yang tercampuri bahan yang najis, sepanjang tidak merubah
sifat-sifat air maka masih tetap suci.
Penulis tidak sependapat dengan pandangan ini karena masalah kehalalan
makanan dan minuman tidak bisa disamakan dengan masalah kesucian air, keduanya
merupakan dua hal yang berbeda). Kedua,
secara teori tidak mungkin dapat menghilangkan suatu bahan sampai 100 persen
apabila bahan tersebut tercampur ke dalam bahan lain, dengan kata lain apabila
etanol terdapat pada bahan awalnya, maka setelah pengolahan juga masih akan
terdapat pada produk akhir, walaupun dengan kadar yang bervariasi tergantung
pada jumlah awal etanol dan kondisi pengolahan yang dilakukan. Hal ini dapat dibuktikan di laboratorium.
Walaupun bukan
etanol yang diharamkan tetapi minuman beralkohol, akan tetapi penggunaan etanol
untuk pembuatan bahan pangan harus dibatasi, untuk menghindari penyalahgunaan
dan menghindari perubahan sifat bahan pangan dari tidak memabukkan menjadi
memabukkan. Etanol dapat digunakan dalam
proses ekstraksi, pencucian atau pelarutan, akan tetapi sisa etanol pada produk
akhir harus dihilangkan sedapat mungkin, sehingga hanya tersisa sangat sedikit
sekali. Etanol tidak boleh digunakan
sebagai solven akhir suatu bahan, misal digunakan sebagai pelarut bahan flavor
dan pewarna.
Batasan khamar ini
nampaknya tidak terbatas pada minuman saja mengingat ada hadis yang mengatakan setiap yang memabukkan adalah khamar dan
setiap khamar adalah haram (Hadis Muslim); Semua yang mengacaukan akal dan semua yang memabukkan adalah haram
(Hadis Abu Daud). Dengan demikian segala
hal yang mengacaukan akal dan memabukkan seperti berbagai jenis bahan narkotika
termasuk ecstasy adalah haram.
Disamping makanan
dan minuman yang diharamkan seperti telah dijelaskan diatas, ada beberapa
kaidah fiqih yang sering digunakan dalam menentukan halal haramnya bahan
pangan. Kaidah tersebut diantaranya
adalah:
a.
Semua yang bersifat najis haram
untuk dimakan.
b.
Manakala bercampur antara yang
halal dengan yang haram, maka dimenangkan yang haram.
c.
Apabila banyaknya bersifat
memabukkan maka sedikitnya juga haram.
3. Hukum Najis
Pada saat ini begitu banyak bahan-bahan yang dapat digunakan untuk kosmetika. Sayangnya, banyak dari bahan-bahan tersebut berasal dari hewan, bahkan dari manusia. Hal ini jelas akan berdampak pada hukum kenajisan dari kosmetika tersebut. Tentu saja kosmetika haruslah hanya terbuat dari bahan-bahan yang tidak najis agar kosmetika tersebut halal dipakai, apalagi kosmetika yang dipakai pada bagian tubuh yang berhubungan dengan konsumsi makanan seperti lipstik, bukan hanya tidak boleh mengandung bahan yang najis tapi juga tidak boleh mengandung bahan yang haram karena dapat terkonsumsi secara tidak sengaja. Berdasarkan hal hal yang dikemukakan tersebut maka pentinglah kiranya untuk mengkaji kembali bahan bahan apa saja yang termasuk kedalam kategori najis ini.
Berdasarkan kajian terhadap empat kitab berikut ini: 1. Fiqih Islam tulisan Sulaiman Rasyid, 2. Fikih Sunnah tulisan Sayid Sabiq (terjemahan), 3. Subulus Salam terjemahan oleh Abubakar Muhammad, 4. Bidayatul Mujtahid tulisan Ibnu Rusyd (terjemahan), ternyata banyak sekali perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah najis ini dengan berbagai argumentasinya. Perbedaan terutama dalam hal penafsiran suatu hadis atau ayat Al-Qur'an, apalagi kalau membaca bukunya Ibnu Rusyd kepala bisa pening dengan berbagai perbedaan pendapat tersebut. Akan tetapi dengan mengetahui latar belakang perbedaan pendapat ini justru kita bisa memilih mana sebetulnya yang paling dapat diterima dan paling lengkap. Dari kajian ini, buku Fikih Sunnah tulisan Sayid Sabiq sebagai yang paling lengkap dan paling dapat diterima, dalam arti sudah berusaha mengakomodasi berbagai perbedaan pendapat, kalaupun masih ada yang masih belum sepakat biasanya beliau sebutkan (walaupun masih perlu dilengkapi dari buku-buku lain karena masih ada satu dua hal yang masih kurang dalam buku tersebut).
Berdasarkan buku Fikih Sunnahnya Sayid Sabiq tersebut maka yang termasuk kedalam najis adalah:
1. Bangkai
2. Darah
3. Daging babi
4. Muntah (kalau muntah sedikit dimaafkan)
5. Kencing manusia
6. Kotoran manusia
7. Wadi
8. Madzi
9. Mani
10. Kencing dan tahi binatang yang tidak dimakan dagingnya
11. Binatang jalallah
12. Khamar
13. Anjing
Mengingat yang banyak menjadi masalah adalah bahan-bahan yang berasal dari hewan, khususnya bangkai, maka berikut ini akan dijelaskan lebih rinci masalah bangkai. Dibawah ini dikutipkan langsung apa yang ada dalam buku Sayid Sabiq (sebagian diringkaskan).
Bangkai ialah yang mati begitu saja, artinya tanpa disembelih menurut ketentuan agama. Termasuk juga dalam hal ini apa yang dipotong dari binatang hidup. Dikecualikan dari itu:
a. Bangkai ikan dan belalang
b. Bangkai binatang yang tidak mempunyai darah mengalir seperti semut, lebah dan lain-lain.
c. Tulang dari bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku, dan kulit serta apa yang sejenis dengan itu hukumnya suci. Dasar yang digunakan adalah hadis:
c.1. Berkata Az-Zuhri mengenai tulang belulang bangkai seperti misalnya gajah dan lain-lain "Saya dapati orang-orang dari ulama-ulama Salaf mengambilnya sebagai sisir dan menjadi minyak, demikian itu tidak jadi apa-apa" (Riwayat Bukhari).
c.2. "Majikan dari Maimunah menyedekahkan kepadaku seekor domba, tiba-tiba ia mati. Kebetulan Rasulullah saw. lewat, maka sabdanya: "Kenapa tidak tuan-tuan ambil kulitnya buat disamak, hingga dapat dimanfaatkan?". "Bukankah itu bangkai?" ujar mereka. "Yang diharamkan ialah memakannya", ujar Nabi pula." (Hadis riwayat Jama'ah kecuali Ibnu Majah yang didalam riwayatnya tersebut "Dari maimunah", sementara dalam riwayat Bukhari dan Nasa'i tidak disebutkan soal menyamak).
c.3. Dan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia membacakan ayat berikut ini: "Katakan: Menurut apa yang diwahyukan kepadaku tidak kujumpai makanan yang diharamkan kecuali bangkai" (sampai akhir ayat 145 dari surat Al An'am). Kemudian ulasannya: "Yang diharamkan itu hanyalah apa yang dimakan. Mengenai kulit, gigi, tulang, rambut dan bulu, maka ia halal." (Hadis riwayat Ibnul Mundzir dan Ibnu Hatim).
Dari hadis hadis yang dikemukakan diatas maka ulama menetapkan apa yang disebut dengan istihalah, yakni zat yang mengalami proses perubahan semua sifat-sifatnya dan menimbulkan akibat hukum: dari benda najis atau mutanajjis menjadi benda suci dan dari benda yang diharamkan menjadi benda yang dibolehkan (mubah). Contoh dalam hal ini yaitu kulit bangkai yang tadinya najis menjadi tidak najis manakala telah disamak. Masalahnya sekarang, masih perlu ditetapkan apa yang dimaksud dengan perubahan sifat-sifat tersebut secara lebih operasional sehingga kita dapat dengan lebih mudah mana mana sebetulnya yang bisa masuk kedalam istihalah. Sebagai contoh, gliserin dari lemak hewan dibuat dengan cara menghidrolisa lemak hewan sehingga asam lemak yang ada pada trigliserida lemak hewan terlepas dan tinggalah gliserin yang dapat dipisahkan dari asam lemaknya serta bahan lainnya. Pertanyaannya, apakah gliserin ini suci?, atau apakah gliserin ini termasuk istihalah? Tentu akan banyak sekali bahan-bahan kosmetika yang serupa dengan gliserin ini, oleh karena itu lagi-lagi sangatlah diperlukan adanya kepastian hukum terhadap bahan-bahan ini agar kita tidak ragu-ragu dalam menggunakannya. Untuk itu, diperlukan kerjasama antara para ulama dan ilmuwan dalam menetapkan status hukum bahan-bahan kosmetika ini.
Perlu diingat bahwa dalam penetapan suatu hukum, bukan hanya masalah materi saja yang dipertimbangkan, akan tetapi masalah-masalah lain seperti masalah pemanfaatan barang haram (intifa'). Dalam kasus babi misalnya, pemanfaatan babi dan unsur-unsur babi tidak diperkenankan (Ijma sebagian ulama, difatwakan oleh MUI pada tahun 1994). Itu sebabnya ada yang berpendapat jika babi haram dan najis maka turunannya pun tidak boleh dimanfaatkan, tentu bisa ada pendapat lainnya yang tidak sama mengingat ada pula Imam yang membolehkan menggunakan bulu babi sebagai benang. Walaupun demikian, sekali lagi ditegaskan bahwa masalah najis ini belum banyak dibahas lagi, khususnya dalam kaitan penggunaannya untuk kosmetika dan toilettries, secara lebih khusus lagi adalah bahan bahan turunan dari bangkai dan babi yang ditengarai banyak digunakan dalam kosmetika dan toilettries.
Sebagai kelengkapan dalam masalah hukum Islam mengenai makanan dan minuman serta bahan-bahan najis maka pada Lampiran 1 disajikan fatwa fatwa MUI yang telah ditetapkan dalam masalah ini.
4. Hukum Positif yang
Berkenaan Dengan Halal
“Makanlah makanan
yang halal lagi baik”, demikianlah perintah Allah kepada umat Islam seperti
tertera dalam Al-Qur’an dalam surat
Al-Maaidah ayat 88. Dengan demikian
mengkonsumsi makanan yang halal merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam. Akan tetapi, dalam era global sekarang ini
penetapan kehalalan suatu produk pangan tidaklah semudah pada waktu teknologi
belum begitu berkembang. Dengan demikian
diperlukan adanya suatu jaminan dan kepastian akan kehalalan produk produk
pangan yang dikonsumsi oleh umat Islam yang merupakan bagian terbesar penduduk Indonesia
(lebih dari 85%).
Jaminan kehalalan
suatu produk pangan dapat diwujudkan diantaranya dalam bentuk sertifikat halal
yang menyertai suatu produk pangan, yang dengan sertifikat tersebut si produsen
dapat mencantumkan logo halal pada kemasannya.
Masalahnya, bagaimana menjamin bahwa sertifikat halal tersebut telah
memenuhi kaidah syariah yang ditetapkan dalam penetapan kehalalan suatu produk
pangan, dalam hal ini akan berkaitan dengan kompetensi lembaga yang
mengeluarkan sertifikat, standar halal yang digunakan, personil yang terlibat
dalam sertifikasi dan auditing, dan yang tak kalah pentingnya adalah mekanisme
sertifikasi halal itu sendiri. Dengan
demikian, diperlukan adanya suatu standar dan sistem yang dapat menjamin
kebenaran hasil sertifikasi halal.
Kasus-kasus besar
yang berkaitan dengan kehalalan produk pangan telah terjadi di Indonesia yang
telah banyak merugikan banyak pihak dan menimbulkan keresahan masyarakat. Kasus pertama terjadi pada tahun 1988 yaitu
adanya issue lemak babi pada banyak produk pangan, sedangkan kasus kedua adalah
haramnya MSG Ajinomoto yang sebelumnya telah dinyatakan halal, ini terjadi pada
tahun 2000. Belajar dari kasus yang
terjadi pada tahun 1988 tersebut maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) berusaha
berperan untuk menenteramkan umat Islam dalam masalah kehalalan produk pangan
dengan cara mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika MUI
(LPPOM MUI) yang bertugas untuk melakukan pengkajian kehalalan produk pangan,
obat dan kosmetika. Sebagai upaya untuk
memberi kepastian mengenai kehalalan produk pangan maka pada perjalanan
selanjutnya LPPOM MUI mulai melakukan kegiatan sertifikasi halal bagi produk
pangan pada tahun 1994. Kegiatan ini
ternyata masih menemui kendala karena pihak pemerintah (melalui Depkes dan
Depag) sebagai pihak yang merasa berwenang dalam pengawasan pengaturan produk
pangan dan kaitannya dengan halal sekalipun, merasa pula berhak dalam melakukan
sertifikasi halal ini. Melalui berbagai
pertemuan dan pembahasan maka tercapailah titik temu dimana masalah sertifikasi
halal akan ditangani oleh tiga lembaga yaitu MUI, Depkes dan Depag dimana ketiga
lembaga tersebut menandatangani SKB (surat
keputusan bersama) 3 lembaga tersebut yang dilakukan pada tahun 1996.
Dengan bantuan
kementerian negara urusan pangan maka lahirlah Undang-Undang Pangan pada tahun
1996 dimana masalah halal juga diperhatikan walaupun sangat disayangkan masih
bersifat ambiguous (akan didiskusikan
lebih lanjut). Melalui perjuangan yang
panjang yang dimotori oleh YLKI lahir pula Undang-Undang Perlindungan Konsumen
yang mulai berlaku tahun 2000 dimana masalah label halal tercakup dalam UU ini. Sebelumnya, lahir pula Peraturan Pemerintah
tentang Label dan Iklan Pangan pada tahun 1999 dimana label halal juga diatur
dalam peraturan tersebut.
Seperti tercantum
dalam PP No. 69 tentang Label dan Iklan Pangan, Komite Akreditasi Nasional
(KAN), Badan Standarisasi Nasional (BSN) merupakan lembaga yang melakukan
akreditasi terhadap lembaga pemeriksa yang akan memeriksa kebenaran pernyataan
halal yang akan dicantumkan pada label suatu produk pangan. Dengan dasar inilah BSN membentuk suatu tim
Pengembangan Akreditasi Lembaga Sertifikasi Halal pada tahun 2001. Tim ini beranggotakan personil yang mewakili
lembaga pemerintah (Deptan, Badan POM, Deperindag, Depag), asosiasi industri
pangan, konsumen (YLKI dan Yayasan Lembaga Konsumen Muslim), perguruan tinggi,
LPPOM MUI dan BSN sendiri. Tim ini telah menghasilkan standar-standar
yang diperlukan dalam masalah sertifikasi halal serta sistem sertifikasi
halalnya itu sendiri.
Dasar Hukum Yang Berkenaan
Dengan Sertifikasi Halal
Undang-Undang RI No. 7 tahun 1996 Tentang Pangan
Didalam UU No. 7 tahun 1996 beberapa pasal
berkaitan dengan masalah kehalalan produk pangan, yaitu dalam Bab Label dan
Iklan Pangan pasal 30, 34 dan 35. Bunyi
pasal dan penjelasan pasal tersebut adalah sbb:
Pasal 30
1)
Setiap orang yang memproduksi
atau memasukkan kedalam wilayah Indonesia
pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, didalam
dan atau di kemasan pangan.
2)
Label, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai:
a)
Nama produk
b)
Daftar bahan yang digunakan
c)
Berat berish atau isi berish
d)
Nama dan alamat pihak yang
memproduksi
e)
Keterangan tentang halal; dan
f)
Tanggal, bulan dan tahun
kadaluwarsa
Penjelasan pasal 30 ayat 2 (e): keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi
masyarakat Indonesia
yang mayoritas memeluk agama Islam.
Namun, pencatumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila
setiap orang yang memproduksi pangan dan atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk
diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat
Islam. Adapun keterangan tentang halal
dimaksudkan agar masyarakat terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal
(haram). Dengan pencantuman halal pada
label pangan, dianggap telah terjadi pernyataan dimaksud dan setiap orang yang
membuat pernyataan tersebut bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan
tersebut.
Komentar dari penulis: Penjelasan ayat ini aneh karena bertentangan dengan bunyi ayatnya
sendiri, pada ayat 2 diatas berbunyi bahwa keterangan tentang halal wajib dicantumkan,
akan tetapi dalam penjelasan dinyatakan bahwa kewajiban ini baru berlaku
apabila si produsen ingin menyatakan bahwa produknya halal. Keanehan kedua adalah kebenaran pernyataan
halal walaupun tanggungjawab si produsen akan tetapi tidak ada kewajiban untuk
diperiksakan dulu kehalalannya oleh lembaga yang berwenang, jadi seakan-akan
kehalalan hanya ditentukan oleh produsen, bagi yang tidak mempercayainya,
silahkan buktikan kebenarannya.
Pasal 34
1)
Setiap orang yang menyatakan
dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan
persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, bertanggungjawab atas kebenaran
pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.
Penjelasan: dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam
label atau iklan pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan, bahan
tambahan pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya.
Komentar dari penulis: Apabila pernyataan halal hanya tanggungjawab produsen tanpa memeriksakannya
ke pihak ketiga maka hanya produsen saja yang mengetahui komposisi dan proses
pembuatan produk pangan tersebut. Jika
ada keraguan konsumen tentang produk tersebut, bagaimana konsumen mengetahui
komposisi dan proses pembuatannya?
Walaupun komposisinya tercantum dalam label, akan tetapi dari segi
kehalalan ini tidak menjamin, ambil contoh jika dalam komposisi tercantum
daging ayam, apakah konsumen mengetahui bahwa daging ayamnya ini halal atau
tidak? Dengan demikian tidak salah jika
dalam hal ini UU Pangan dituduh lebih berpihak kepada produsen karena telah
memberikan keleluasaan kepada produsen, sedangkan konsumen sendiri berada pada
pihak yang lemah karena tidak memiliki akses untuk mengetahui apa yang
dikerjakan produsen (pemilihan bahan dan proses).
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan
Ada
dua pasal yang berkaitan dengan sertifikasi halal dalam PP No. 69 ini yaitu
pasal 3, ayat (2), pasal 10 dan 11.
Pasal 3, ayat (2)
Label berisikan keterangan sekurang-kurangnya:
a.
Nama produk
b.
Daftar bahan yang digunakan
c.
Nama dan alamat pihak yang
memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia
d.
Tanggal, bulan dan tahun
kadaluarsa
Komentar dari penulis: pasal ini tidak sesuai dengan pasal 30 UU Pangan tahun 1996 karena
selain yang yang empat tersebut diatas dalam pasal 30 ada lagi tambahan: berat
bersih dan isi bersih serta keterangan tentang halal. Karena PP ini statusnya ada dibawah UU, maka
yang berlaku seharusnya pasal 30 UU Pangan.
Dari kenyataan ini kelihatannya perlu ada amandemen UU atau PP karena
tidak semuanya sinkron.
Pasal 10
1)
Setiap orang yang memproduksi
atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan
menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggungjawab atas
kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan
halal pada label.
2)
Pernyataan tentang halal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari label.
Penjelasan pasal 10: pencantuman keterangan halal atau tulisan “halal” pada label pangan
merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan
kedalam wilayah Indonesia
menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam. Penggunaan bahasa atau huruf selain bahasa
Indonesia dan huruf Latin, harus digunakan bersamaan dengan padanannya dalam
bahasa Indonesia dan huruf Latin.
Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang sangat
penting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat yang beragama Islam dari
mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram).
Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya
dibuktikan dari segi bahan baku,
bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan, tetapi harus pula
dibuktikan dalam proses produksinya.
Pasal 11
1)
Untuk mendukung kebenaran
pernyataan halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1), setiap orang
yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia
untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada
lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2)
Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang
ditetapkan oleh Mentri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran
lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.
Penjelasan pasal 11: (1) pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela. Namun setiap orang yang memproduksi dan atau
memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan
menyatakannya sebagai produk yang halal, sesuai ketentuan ia wajib mencantumkan
tulisan halal pada label produknya.
Untuk menghindarkan timbulnya keraguan di kalangan umat Islam terhadap
kebenaran pernyataan halal tadi, dan dengan demikian untuk kepentingan
kelangsungan atau kemajuan usahanya, sudah pada tempatnya bila pangan yang
dinyatakannya sebagai halal tersebut diperiksakan terlebih dahulu pada lembaga
yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Pemeriksaan tersebut dimaksudkan untuk
memberikan ketenteraman dan keyakinan umat Islam bahwa pangan yang akan
dikonsumsi memang aman dari segi agama. (2). Lembaga keagamaan yang dimaksudkan
adalah Majelis Ulama Indonesia. Pedoman
ini bersifat umum, dan antara lain meliputi persyaratan bahan, proses atau
produknya.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
924/Menkes/SK/VIII/ 1996 Tentang Perubahan Atas keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 82/Menkes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label
Makanan.
Kepmenkes ini memuat perubahan penting Kepmenkes sebelumnya,
kelihatannya perubahan ini sebagai konsekwensi adanya SKB tiga lembaga yaitu
Depag, Depkes dan MUI. Pasal-pasal yang
berubah dan sekaligus relevan dengan masalah sertifikasi halal adalah sbb:
1.
Pasal 8
Produsen
atau importir yang akan mengajukan permohonan pencatuman tulisan “Halal” wajib
siap diperiksa oleh petugas Tim Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk oleh Direktur
Jenderal.
2. Pasal 10
(1) Hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 8 dan hasil pengujian laboratorium
sebagaimana dimaksud Pasal 9 dilakukan evaluasi oleh Tim Ahli Majelis Ulama
Indonesia.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1)
disampaikan kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia untuk memperoleh Fatwa.
(3) Fatwa MUI sebagaimana dimaksud ayat (2) berupa
pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan.
3. Pasal 11
Persetujuan
pencantuman tulisan “Halal” diberikan berdasarkan Fatwa dari Komisi Fatwa MUI.
4.
Pasal 12
(1)
Berdasarkan Fatwa dari MUI, Direktur Jenderal memberikan:
a. Persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat “Halal”
b. Penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat “Halal”
(2) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b diberikan secara tertulis kepada pemohon disertai alasan.
Komentar dari penulis: Pada prakteknya, jika ada suatu perusahaan ingin mencantumkan label
halal (sekarang permohonannya ke badan POM), maka akan dilakukan pemeriksaan
(auditing) ke perusahaan tersebut (setelah melengkapi persyaratan yang diminta)
oleh Tim Gabungan dari badan POM, LPPOM MUI dan Depag. Untuk perusahaan lain yang tidak memerlukan label
halal tapi memerlukan sertifikat halal maka pengajuan sertifikat halal langsung
ke MUI. Kasus ini misalnya terjadi pada
produsen penghasil ingredien seperti industri flavor.