PERJALANAN REFORMASI ISLAM MUHAMMAD ABDUH
DAN RASYID RIDHO
I. SEJARAH DAN PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH (1849-1905)
Father of Islamic modern (Bapak Pembaharuan Islam)
A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan
Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah atau Muhammad ‘Abduh. lahir di
desa Mahallat Nashr Kota Al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M dan wafat pada
tahun 1905 M. Beliau merupakan putra dari seorang petani berkebangsaan Turki yaitu
Abduh bin Hasan Khairullah, sedangkan ibunya masih mempunyai silsilah keturunan
dengan tokoh besar Islam, Umar bin Khattab.
Pendidikan pertama yang ditekuni Muhammmad Abduh adalah belajar Al Qur'an,
karena kemampuan yang dimilikinya memiliki otak yang cerdas maka hanya dalam
kurun waktu dua tahun, beliau telah hafal kitab suci dalam usia 12 tahun. Pendidikan
formalnya dimulai saat ia dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di masjid
Ahmadi yang terletak di desa Thantha. Namun karena sistim pembelajarannya yang
dirasa sangat membosankan, akhirnya ia memilih untuk menimba ilmu dari
pamannya, Syekh Darwisy Khidr di desa Syibral Khit yang merupakan seseorang
berpengetahuan luas dan penganut paham tasawuf. Selanjutnya, Muhammad Abduh
melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar, di Kairo dan berhasil menyelesaikan
kuliahnya pada tahun 1877.
Ketika menjadi mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869 Abduh bertemu
dengan seorang ulama' besar yang disebvut-sebut sebagai pembaharu dalam Islam,
yaitu Jamaluddin Al Afghany, dirinya bertemu dengan Al-Afghani dalam sebuah
diskusi. Sejak itulah Abduh tertarik kepada Jamaluddin Al Afghany dan banyak
belajar darinya. Al Afghany adalah seorang pemikir modern yang memiliki semangat
tinggi untuk membuat paradigma baru yaitu memutuskan rantai pemikiran umat islam
yang ortodok dan cara berfikir yang fanatik.
Nuansa baru yang ditiupkan oleh Al Afghany, berkembang pesat di Mesir
terutama di kalangan mahasiswa Al Azhar yang langsung dipelopori oleh Muhammad
Abduh. Karena cara berpikir Abduh yang lebih maju dan sering bersentuhan dengan
jalan pikiran kaum rasionalis Islam atau Mu'tazilah, maka banyak yang menuduh
dirinya telah meninggalkan madzhab Asy'ariyah. Terhadap tuduhan itu ia menjawab:
"Jika saya dengan jelas meninggalkan taklid kepada Asy'ary, maka mengapa saya
harus bertaklid kepada Mu'tazilah? Saya akan meninggalkan taklid kepada siapapun
dan hanya berpegang kepada dalil yang ada".
B. Sejarah Perjuangan dan Kehidupan Politik
Setelah Abduh menyelesaikan studinya di al Azhar pada tahun 1877, atas usaha
Perdana Menteri Mesir, Riadl Pasya, ia di angkat menjadi dosen pada Universitas
Darul Ulum dan Universitas al Azhar. Dalam memangku jabatannya itu, beliau terus
mengadakan perubahan-perubahan yang radikal. Dia merubah model lama dalam
bidang pengajaran dan dalam memahami dasar-dasar keagamaan seperti yang
dialaminya sewaktu belajar di masjid al-Ahmadi dan di al Azhar. Dia menghendaki
adanya sistim pendidikan yang mendorong tumbuhnya kebebasan berpikir, menyerap
ilmu-ilmu modern dan membuang cara-cara lama yang kolot dan fanatik Sebagai
murid Jamaluddin al-Afghani, maka pemikiran politiknya pun sangat dekat dengan
Al Afghany yaitu berpikir secara revolusioner dengan serius memandang penting
bangkitnya bangsa-bangsa timur (usyruqiyyah) guna melawan dominasi Barat.
Pada tahun 1879, pemerintahan Mesir berganti seiring dengan turunnya Chedive
Ismail dan digantikan puteranya, Taufiq Pasya. Pemerintahan yang baru ini sangat
kolot dan monoton, sehingga memicu Abduh untuk mengkritisi pemerintahan, hal ini
tentu saja berdampak kepada Abduh hingga ia dipecat dari jabatannya dan
pengusiran terhadap al Afghany dari Mesir. Tetapi pada tahun berikutnya Abduh
kembali mendapatkan tugas dari pemerintah untuk memimpin penerbitan majalah "al
Wakai' al Mishriyah". Kesempatan ini dimanfaatkan Abduh untuk menuangkan isi
hatinya dalam bentuk artikel-artikel untuk mengkritisi pemerintah tentang nasib
rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir.
Pada tahun 1882, Abduh dibuang ke Syiria (Beirut) karena dianggap ikut andil
dalam pemberontakan yang terjadi di Mesir pada saat itu. Disini ia mendapat
kesempatan untuk mengajar di Universitas Sulthaniyah selama kurang lebih satu
tahun.
Pada awal tahun 1884, Abduh pergi ke Paris atas panggilan al Afghany yang saat
itu telah berada disana. Bersama al Afghany, disusunlah sebuah gerakan untuk
memberikan kesadaran kepada seluruh umat Islam yang bernama "al 'Urwatul
Wutsqa". Untuk mencapai cita-cita gerakan tersebut, diterbitkanlah pula sebuah
majalah yang juga diberi nama "al 'Urwatul Wutsqa". Suara kebebasan berpendapat
yang digulirkan al Afghany dan Abduh melalui majalah ini menyebar ke seluruh
dunia dan memberikan ruh yang cukup kuat terhadap kebangkitan umat Islam.
Sehingga dalam waktu yang sangat singkat, kaum imperialis merasa khawatir atas
gerakan ini, akhirnya pemerintah Inggris melarang majalah tersebut masuk ke
wilayah Mesir dan India.
Akhir tahun 1884, setelah majalah tersebut terbit pada edisi ke-18, pemerintah
Perancis melarang diterbitkannya kembali majalah 'Urwatul Wutsqa. Kemudian
Abduh diperbolehkan kembali ke Mesir dan al Afghany melanjutkan
pengembaraannya ke Eropa.
Setelah kembali ke Mesir, Abduh kembali diberi jabatan penting oleh
pemerintah Mesir. Ia juga membuat beberapa perbaikan di Universitas al Azhar.
Puncaknya, pada tanggal 3 Juni 1899, Abduh mendapatkan kepercayaan dari
pemerintah Mesir untuk menduduki jabatan sebagai Mufti Mesir. Kesempatan ini
dimanfaatkan Abduh untuk kembali berjuang meniupkan ruh perubahan dan
kebangkitan kepada umat Islam.
C. Manhaj Pemikiran keagamaannya
Islam adalah agama yang terdiri dari beberapa aspek yang saling berhubungan,
satu dengan yang lainnya. Yaitu Aqidah (Teologi), Syariah (Hukum Islam), dan
Akhlak (tasawuf) bahkan untuk bertatanegara sekalipun hal ini kita kenal dengan
Shiyasah atrau politik. Namun dalam kesempatan ini, penulis memilih hanya
membahas beberapa manhaj pemikiran Muhammad Abduh secara singkat tentang ke
empat hal tersebutmudah-mudahan dapat menjadi suatu rujukan kita dalam
mengemukakan pendapat dan bertindak.
1. Bidang Hukum Islam
Dalam salah satu tulisannya, Abduh membagi syariat menjadi dua bagian, yaitu;
hukum pasti (al Ahkam al Qath’iyah) dan hukum yang tidak ditetapkan secara pasti
maka harus melakukan ijtihad dengan merujuk kepada nash dan ijma. Hukum yang
pasti, bagi setiap muslim wajib mengetahui dan mengamalkannya. Hukum yang
seperti ini terdapat dalam al-Qur’an dan rinciannya telah dijelaskan Nabi melalui
Hadits dan riwayatnya, serta hukum tersebut sampai kepada muslimin secara
mutawatir dengan amalan yang telah dicontohkan oleh para ulama pendahulu kita.
Hukum ini merupakan hukum dasar yang telah disepakati (mujma’ ‘alaîhi)
keabsahannya. Hal ini bukan merupakan lapangan ijtihad dan dalam hukum yang
telah pasti serupa ini, seseorang boleh bertaklid. Sedangkan yang tidak kedua adalah
hukum yang tidak ditetapkan dengan tegas oleh nash yang pasti dan juga tidak
terdapat kesepakatan ulama di dalamnya. Hukum inilah yang merupakan objek dari
ijtihad, seperti masalah muamalah, maka kewajiban semua orang untuk mencari dan
menguraikannya sampai jelas.
Disinilah peranan para mujtahid, dan dari masalah ini pula lahir beberapa
madzhab fiqh yang merupakan cerminan dari keragaman pendapat dalam memahami
nash-nash yang tidak pasti tersebut.
Muhammad Abduh sangat menghargai para mujtahid dari madzhab apapun.
Menurutnya, mereka adalah orang-orang yang telah mengorbangkan kemampuannya
yang maksimal untuk mendapatkan kebenaran dengan niat yang ikhlas serta
ketaqwaan yang tinggi kepada Allah. Menurut Abduh perbedaan pendapat adalah hal
yang biasa, dan tidak selamanya merupakan ancaman bagi kesatuan umat. Namun
yang dapat menimbulkan bencana adalah pendapat yang berbeda-beda tersebut
dijadikan sebagai harga mati rujukan suatu hukum, karena menurutnya suatu khal
yang mustahil pada pemikiran seseorang untuk tunduk kepada pendapat tertentu saja,
tanpa berani melakukan kritik atau mengajukan pendapat lain. Karena setiap orang
mempunyai keseragaman berfikir yang tidak dapat dipatahkan.
Menurutnya, setiap muslim harus memandang bahwa hasil ijtihad ulama masa
lalu sebagai hasil pemikiran manusia biasa yang tidak selamanya benar (relatif).
Sikap yang harus diambil umat Islam dalam perbedaan pendapat adalah kembali
kepada sumber asli . Untuk itu, secara sosial Abduh mengklasifikasikan dua
kelompok masyarakat Islam yaitu mereka yang memilki ilmu pengetahuan dan yang
awam. Beliau berpendapat bahwa kelompok pertama wajib melakukan ijtihad
langsung kepada al Qur’an dan as Sunnah. Dalam hal ini kelompok cendikia dituntut
untuk berijtihad, karena jika tidak dapat menyebabkan mereka akan mencari
keputusan hukum di luar ketentuan syara’. Seiring perkembangan zaman, maka laju
perkembangan situasi dan kondisi yang muncul tidak dapat ditahan. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian ulang tentang beberapa pendapat hasil ijtihad ulama
terdahulu, agar hasil ijtihad itu sesuai dengan situasi dan kondisinya. Namun yang di
ijtihadkan bukan hanya masalah-masalah yang belum ada hukumnya, tetapi juga
mengadakan penelitian terhadap hasil ijtihad terdahulu, supaya kita terlepas dari
bahaya taqlid buta.
Bagi kelompok kedua yang awam, sikap yang harus diambilnya adalah mengikuti
pendapat orang yang mereka percayai, dengan mempertimbangkan kedalaman ilmu
dan ketaqwaan dari orang yang diikutiya pendapatnya. Jadi setiap dikerjakan oleh
orang awam mempunyai dasar kuat yang dia sendiri mengetahui dasarnya dan tidak
mengamalkan suatu perbuatan dengan buta atau ittiba’. Dengan sikap ini, umat Islam
akan selamat dari bahaya taqlid buta. Abduh berpendapat bahwa kebenaran bisa kita
dapatkan dari mana saja dan dari siapa saja, tidak hanya pada seorang guru atau suatu
madzhab tertentu.
Abduh pun menyoroti yang terjadi di masyarakat yaitu pada umumnya Generasi
sesudah mujtahid mengikuti hasil ijtihad yang mereka dapatkan, bukan mengambil
cara yang ditempuh oleh para imam madzhab. Akibatnya, terjadinya perselisihan
pendapat yang membawa perpecahan di kalangan umat Islam. Fanatisme madzhab
pun mucul dan taklid tidak bisa dihindarkan.
Abduh menilai para fuqaha sesudah mujtahid sebagai sumber pertama dari
timbulnya fanatisme tersebut, dengan menambah atau memperluas hasil ijtihad para
ulama terdahulu (pencetus madzhab). Sehingga menurutnya ajaran agama dengan
segala permasalahannya bukan semakin jelas, namun semakin rumit. Orang tidak
bisa membedakan antara ajaran dasar Islam dengan ajaran madzhab yang bersumber
dari fuqaha. Kitab madzhab dijadikan bahan rujukan dan kitab al Qur’an
ditinggalkan, sehingga seakan-akan sia-sia Allah mengutus Rasul yang membawa
kitab tersebut.
Oleh karena itu, dalam berijtihad kaum muslimin harus berpedoman kepada al
Qur’an dan as Sunnah. Hal inilah yang mendorongnya untuk menggalakkan ijtihad di
kalangan intelektual dan mengikis taklid buta dalam masyarakat. Beliau
membandingkan sikap umat Islam yang demikian itu dengan sikap kaum Yahudi yang
taklid kepada pendapat pemimpin agama mereka, seperti digambarkan Allah dalam
surat at-Taubah, ayat 32. Sehingga mereka mengalami kemunduran setelah
memperoleh kejayaan.
Tentangan yang keras terhadap taklid yang dilakukan Abduh dilandasi oleh
pandangan teologinya yang memberikan harkat yang tinggi kepada seseorang dengan
segala kesempurnaan akal yang dimiliki untuk dipergunakan sebebas-bebasnya.
Dengan hal tersebut, seharusnya manusia juga mampu memahami nash-nash. Dengan
demikian manusia tidak selayaknya tunduk dan mengikuti hasil pemikiran orang lain
tanpa memikirkan alasan-alasan yang mendasari pendapat tersebut. Kendatipun
demikian beliau juga mengakui bahwa tidak semua orang sanggup berijtihad. Namun
bagi mereka yang awam pun taklid buta (the blind following of tradition) tidak boleh
dilakukan.
Di samping itu, ada beberapa hal yang beliau saksikan di Barat yang merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan dirinya menentang keras terhadap taklid. Abduh
melihat kemajuan barat yang menurut pemahamnnya disebabkan oleh terbebasnya
mereka dari ikatan taklid dan bebasnya mereka dalam menggunakan akal dalam
berpikir dan memahami sesuatu, Tampaknya Abduh menginginkan keadaan seperti
itu, bisa juga diterapkan di kalangan muslimin, sehingga kemajuan di Barat dapat
juga dirasakan kaum muslimin bahkan bisa dirasakan dengan lebih baik.
2. Bidang Aqidah
Sebagai seorang pemikir yang termasuk mengagungkan akal sebagai sumber
inspirasi kehidupan, pemikiran Abduh tidak bisa dipungkiri banyak dipengaruhi
pemikiran-pemikiran mu’tazilah. Hal ini terlihat dari buku-bukunya, di antaranya
Risâlah Tauhîd. Pemikiran Abduh mengenai qada dan qadar, sejalan dengan sikap dan
pandangan hidupnya yang dinamis. Di samping memandang qada dan qadar sebagai
salah satu bagian dari aqidah Islamiyah yang penting, ia juga menekankan pentingnya
pemahaman yang benar dalam masalah ini. Meskipun dia tidak menyebut soal qada
dan qadar sebagai salah satu pilar-pilar keimanan, tetapi dia memasukkan masalah ini
ke dalam aspek aqidah Islamiyah, bahkan cenderung sama dengan pendapat gurunya,
Jamaluddin al Afghany dalam masalah ini.
Menurutnya, bahwa keyakinan serta pemahaman yang benar tentang masalah
qada' dan qadar akan membawa kepada kejayaan umat Islam. Sebaliknya
pemahaman yang salah terhadap keduanya, akan menyebabkan mereka ke dalam
kehancuran. Seperti yang pernah terjadi dalam sejarah Islam.
Pemahaman Abduh tentang hal ini, mungkin disebabkan kondisi yang diamati
olehnya, baik dalam pengembaraannya ke negeri-negeri Barat, maupun kondisi Mesir
sendiri yang masih dalam jajahan Perancis. Dia melihat aqidah yang dianut umumnya
umat Islam ketika itu, yaitu paham qada' dan qadar yang telah berwujud fatalisme,
yang justru telah membuat mereka dalam keadaan statis. Konsekuensinya, umat
semakin mundur dan tidak ada kemauan untuk berbuat yang lebih baik.
Dalam bukunya,Risalah Tauhid, kita temukan bahwa qada' dan qadar dalam
pandangan dan pemikiran Abduh mempunyai pengertian yang berbeda dengan
muslimin pada umumnya. Qada' menurutnya berarti “terkaitnya Ilmu Tuhan dengan
sesuatu yang diketahui” (wuqûsysyai’ ‘alal-ilahi bi sysyai’). Sedangkan qadar adalah
"terjadinya sesuatu sesuai dengan ilmu Tuhan" (wuqû’ sysyai’ ‘alal Hasbililmi).
Dengan kata lain, segala sesuatu yang yang terjadi di alam ini hanya Tuhan
yang dapat mengetahui. Termasuk segala yang dipilih manusia sesuai kemauan dan
kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya. Hal ini berarti bahwa qada' dan qadar
tidak menunjukkan adanya paksaan kepada manusia untuk melakukan sesuatu
perbuatan. Tuhan hanya mengetahui segala yang dilakukan oleh manusia, bukan
berarti mengatur segala yang akan dialami manusia sejak di zaman azali.
Dari pendapat ini abduh mencoba memberikan pemahaman bahwa manusia bebas
menjatuhkan pilihannya. Serta apapun perbuatan yang dipilih dan dilakukannya,
Tuhan telah lebih mengetahuinya. Jadi, peran Tuhan dalam hal ini adalah mengetahui,
dan peran tersebut tidak menjadi penghalang bagi kebebasan manusia dalam memilih
perbuatan sesuai dengan kebebasan yang diberikan Tuhan.
Mempercayai qada' dan qadar, menurutnya adalah meyakini bahwa setiap
kejadian atau peristiwa dilatar belakangi oleh sebab (sebab-akibat). Rangkaian sebabsebab
tersebut menciptakan suatu keteraturan. Sehingga kejadian atau peristiwa yang
telah berlalu dapat ditelusuri atau dipelajari. Sumber dari segala sebab tersebut,
menurut Abduh, adalah kebijaksanaan Allah, Dia menjadikan setiap peristiwa
menurut hukumnya sendiri yang merupakan komponen dari suatu kerangka atau
sistim yang tidak berubah-ubah. Itulah yang disebutnya dengan istilah sunnatullah
(hukum alam Tuhan), dan manusia harus tunduk kepada setiap sunnah yang
ditetapkan Tuhan. Maka, keyakinan yang kuat terhadap hukum alam bukanlah berarti
mengingkari adanya kekuasaan Tuhan, justru hal itu sejalan dengan keyakinan akan
kekuasaan-Nya yang telah menciptakan hukum alam tersebut.
Dengan demikian, nasib manusia akan sesuai dengan apa yang telah dipilihnya.
Pandangan Abduh yang demikian akan lebih jelas terlihat ketika dia membicarakan
masalah perbuatan manusia. Namun Abduh pun menyerukan, bahwa manusia tidak
mempunyai kebebasan tanpa batas atau kebebasan absolut. Abduh membatasi
kebebasan manusia dengan memberikan contoh yang tergambar dalam peristiwaperistiwa
alamiah, seperti angin badai, kebakaran dan peristiwa-peristiwa lain yang
tak terduga.
Artinya, kebebasan manusia mempunyai batas-batasnya, di atas manusia masih
ada kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan yang membatasi kemauan dan kebebasan
manusia itu terjadi melalui hukum ciptaan Tuhan. Tuhan menjadikan segala wujud di
alam ini di bawah hukum alam, dalam suatu sistim yang disebut ketetapan hukum
sebab akibat. Atas dasar itu, kiranya dapat dikatakan bahwa terjadinya peristiwaperistiwa
yang mengakibatkan kerugian pada manusia sebenarnya disebabkan oleh
ketidakmampuan manusia itu sendiri dalam menguasai dan mengantisipasi hukum
alam yang berdasarkan hukum sebab akibat tersebut. Dengan kata lain, peristiwa
alam yang membawa kerugian bagi manusia disebabkan oleh manusia perilaku yang
pernah dilakukan manusia itu sendiri. Jadi, pada dasarnya hukum alamlah
sesungguhnya yang membatasi kemauan dan kebebasan manusia.
3. Bidang Politik dan Tata Negara
Dalam bidang politik, ia berpendapat bahwa terdapat hubungan yang erat antara
seseorang dengan tanah airnya. Oleh karena itu, seseorang harus mencintai dan
mempertahankan tanah airnya dengan alasan bahwa tanah air merupakan tempat
mencari penghidupan yang layak, memberikan makanan, perlindungan, dan tempat
tinggal. Demikian juga bahwa tanah air tempat memperoleh hak-hak dan kewajiban
yang merupakan dasar kehidupan politik yang akan menghubungkan seseorang untuk
bangga atau terhina karenanya.
Abduh pun menyuarakan bahwa prinsip demokrasi harus dilaksanakan secara
bersama-sama oleh rakyat dan pemerintah. Sejarah Islam telah membuktikan betapa
kuatnya demokrasi dipegang oleh kaum muslimin pada masa-masa kejayaan Islam.
Sebagai contoh dikemukakan masa Khalifah Umar bin Khattab. Menurut
pendapatnya, kalau prinsip demokrasi menjadi suatu kewajiban bagi rakyat dan
pemerintah maka kewajiban pemerintah terhadap rakyat ialah memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk bekerja dengan cara yang benar agar dapat
mewujudkan kesejahteraan bagi dirinya dan masyarakat.
Dalam menyikapi Undang-Undang Negara, Muhamad Abduh berpendapat bahwa
tiap negara mempunyai Undang-undang yang sesuai dengan dasar-dasar kebudayaan
dan politik yang berlaku di tempat itu atas dasar perbedaan geografis. Perbedaan itu
juga disebabkan karena ada kebiasaan, akhlak dan kepercayaan yang dianut. Oleh
karena itu undang-undang yang sesuai dengan suatu bangsa di suatu Negara belum
tentu sesuai bagi bangsa yang lain. Maka dalam pembuatan undang-undang
diperlukan upaya untuk memperhatikan perbedaan-perbedaan di kalangan rakyat
baik strata kecerdasannya maupun keadaan sosialnya. Demikian juga perlu
memperhatikan adat-istiadatnya agar para pembuat undang-undang dapat
memperhatikan hubungan pekerjaan rakyatnya dengan batas-batas yang membawa
manfaat dan menghindari keburukan. Dengan batas-batas yang membawa manfaat
dan menghindari keburukan. dengan demikian bagi para penyusun undang-undang
tidak perlu meniru pembuatan undang-undang yangberlaku di Negara lain.
Mengenai bentuk undang-undang dan peraturan pada umumnya bagi suatu
bangsa, harus mencerminkan karakter rakyatnya sesuai dengan kebiasaan hidupnya.
Dalam arti kata lain, layaknya suatu peraturan yang bersifat horizontal maupun
vertikal tidak lepas dari karakter tersebut. Keadaan inilah yang harus diperhatikan
para pembuat undang-undang, maka hendaknya hal yang harus dilakukan sebelum
membuat suatu peraturan adalah usaha untuk membangun atau bahkan mengubah
karakter yang kokoh di masyarakat yang berkaitan dengan Undang-Undang. Dengan
demikian pendidikan mengenai undang-undang tersebutlah yang terlebih dahulu
digulirkan agar masyarakat sebagai objek undang-undang bisa mencapai tujuan.
Adapun fungsi dari undang-undang dikatakan Abduh, hanya untuk memelihara
keadaan yang sudah ada bukan untuk mengadakan suatu perubahan. Sedangkan
perubahan adat dan akhlak suatu umat dan pengarahan kepada suatu tujuan hanya
bisa dicapai dengan pendidikan bukan dengan undang-undang.
Abduh pun mencontohkan Undang-undang yang menentukan suatu hukuman atas
kejahatan atau pelanggaran tidak dapat mendidik umat untuk memperbaiki dirinya,
karena semua undang-undang di dunia dibuat untuk orang-orang yang menyeleweng
dan berbuat salah sedangkan undang-undang yang membawa perbaikan ialah
undang-undang pendidikan agama pada tiap umat.
Dengan ketiga hal tersebut yaitu tanah air, demokrasi dan pertalian undangundang
dengan komponen tanah air seperti bahasa, agama, adat dan akhlak yang telah
membentuk kepribadian bangsa. Muhammad Abduh telah menawarkan suatu prinsip
bela Negara, yaitu seorang warga Negara tidak boleh mengorbankan tanah airnya,
bahasa, agama, akhlak dan tradisi bangsanya dalam keadaan seperti apapun. Seperti
dalam hal memegang prinsip demokrasi dalam suatu pemerintahan.
Dalam perjuangannya Muhammad Abduh bersama gurunya sangat istiqomah
dalam menggulirkan konsep Pan Islamisme (persatuan seluruh negeri muslim dalam
satu bendera), hal ini dilakukan sebagai tidak setujunya Abduh atas kekholifahan
Utsmany yang cenderung tiranik dan mengekor ke Barat melalui program Tanzimat
Sementara.
II. RASYID RIDHO (Syekh reformis besar)
A. Sejarah dan latar belakang pendidikan
Muhamrnad Rasyid bin Al Ridha bin Syamsuddin bin Baha’uddin al-Qalmuni, al-
Husaini. Dari namananya jelas bahwa beliau merupakan salah satu keturunan Alul-
Bayt . Beliau dilahirkan pada tanggal 27-5-1282 H di sebuah desa bernama Qalmun,
di sebelah selatan kota Tharablas (Tripoli) atau Syam, ia mulai menuntut ilmu dengan
menghafal al-Qur’an, mempelajari khat dan ilmu berhitung.
Kemudian belajar di madrasah ar-Rasyidiyyah yang bahasa pengantarnya adalah
bahasa Turki. Tetapi tak berapa lama, ia tinggalkan tempat itu untuk meneruskan
studinya di sekolah nasional Islam (al-Wathaniyyah al-Islamiyyah) yang didirikan dan
diajarkan gurunya, Husain al-Jisr.Ia mengenyam belajar di sekolah ini selama 7 tahun
yang kemudian merubah perjalanan kehidupannya dan mulailah rihlah Tasawufnya.
BersamaTarekat Syadziliyyah; beliau mulai mempelajari tasawuf ketika gurunya,
Husain a1-Jisr membacakan kepadanya sebagian buku-buku tasawuf, di antaranya
beberapa pasal dari kitab al-Futuuhaat al-Makkiyyah dan beberapa pasal dari kitab
karya al-Fariyaq. Pernah ia membaca wird as-Sahari dari buku Tasawaf itu, dan saat
membaca bait berikut:
“Dan derai air mata telah mendahuluiku akibat rasa takut terhadapMu
Beliau berhenti dan menolak untuk membacanya karena merasa air matanya
tidaklah berderai saat itu. Penolakannya ini semata karena merasa malu berdusta
kepada Allah sebab kenyataannya air matanya belum dan tidak berderai ketika
membaca bait itu. Setelah beliau menggali dan memperdalam ilmu dan ushuluddin,
sadarlah ia bahwa membaca wirid tersebut termasuk bid’ah. Karena itu, ia pun
meninggalkannya dan lebih memilih untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an.
Beliau juga sempat belajar dengan gurunya yang lain, Abu al-Mahasin al-Qawiqji
hingga berhasil mendapatkan ijazah (semacam rekomendasi sah sebagai murid yang
berhak membaca buku gurunya-red) untuk kitab Dalal’il al-Khairat. Setelah
mempelajarinya, semakin nyata baginya bahwa kebanyakan isi buku tersebut
mengandung pendustaan terhadap Nabi Saw, maka beliaupun meninggalkannya. la
kemudian beranjak membaca dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang berisi shalawat
kepada Nabi Saw yang kualitasnya dapat dipertanggung jawabkan (valid). Bersama
Tarekat Naqsyabandiyyah. Mengenai hal ini, Syaikh Rasyid menyebutkan bahwa
yang membuatnya gandrung mempelajar tasawuf adalah pesona kitab Ihya Ulumud
ad-Diin karya Imam al-Ghazali.
Kemudian beliau meminta kepada gurunya dalam tarekat Syadziliyyah,
Muhammad al-Qawiqji untuk memperkenankannya agar tetap menjalankan tarekat
Syadziliyyah secara formalitas saja namun sang guru berkeberatan seraya berkata,
“Wahai anakku, aku bukan orang yang tepat untuk mengabulkan permintaanmu itu.
Permadani ini telah dilipat dan para penganutnya telah berlalu”.
Syaikh Rasyid juga menyebutkan, ada temannya yang bernama Muhammad al-
Husaini berhasil menjadi seorang sufi terselubung dalam tarekat Naqsyabandiyyah.Ia
beranggapan dirinya telah mencapai tingkat mursyid sempurna. Oleh karena itu,
Rasyid mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah ini melalui bimbingan Muhammad
Husaini, beliau akhirnya banyak menghabiskan usianya dalam tarekat ini. Mengenai
hal ini, beliau bertutur, ” Di sela-sela itu, aku melihat banyak sekali perkara-perkara
rohani yang terjadi di luar kebiasaan, dan banyak kejadian itu, aku berupaya
menafsirkannya namun sebagiannya tak berhasil aku ungkap, akan tetapi buah cita
rasa yang tidak lazim ini tidak sama sekali menunjukkan bahwa seluruh tata cara ini
tidak disyari’atkan sebagiannya bernuansa bid’ah atau dibolehkan, sepertinya aku
akan menelitinya kemudian.” Rasyid menyebut kegiatannya menjalani wirid harian
dalam tarekat Naqsyabandiyyah adalah dengan cara mengucapkan nama Al1ah di
dalam hati, tanpa ucapan lisan sebanyak 5000 kali seraya membelalakkan kedua
mata, menahan nafas sekuat daya dan mengikat hati dengan hati sang guru.
Di kemudian hari jelas baginya semua itu bid’ah, ia menyebutkan hal tersebut
dapat mencapai kesyirikan terselubung ketika seseorang mengikat hatinya dengan
hati sang guru. Sebab dalam tuntutan tauhid, seorang hamba di dalam setiap
ibadahnya harus menuju Allah semata, dengan lurus total dan tidak condong serta
berserah diri kepada-Nya dalam agama. Mengenai pengalamannya bersama aliran
tasawuf ini, Syaikh Rasyid kemudian menngungkap banyak hal, di antaranya, beliau
menyimpulkan, ” saya dulu berkeyakinan bahwa Thariqat (Tarekat/Jalan), Ma’rifah,
Penyucian jiwa dan mengetahui rahasia-rahasianya adalah dibolehkan secara syari’at,
tidak terlarang sama sekali dan dapat berguna seraya berharap mencapai ma’rifat
Allah, tanpa melakukannya tidak akan mencapai sasaran”.
B. Beralih dari Tasawuf Ke Pemahaman Salaf
Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan sebagai Sufi dengan mengikuti
Tarekat Naqsyabandiyyah, pada akhirnya beliau banyak terpengaruh oleh majalah
al-Urwahal-Wutsqa serta beberapa artikel para ulama. Bahkan, terpengaruh oleh
gurunya, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Beliau benar-benar
terpengaruh oleh kedua gurunya tersebut, sehingga akal dan pikirannya berubah
bahwa segala perbuatan bid’ah harus dihindari, saat berguru pada Muhammad Abduh
dan Al-afghani beliau mengkorelasikan keterkaitan antara ilmu agama dan modern
serta mengupayakan tegaknya persatuan umat dalam upaya menggapai kemenangan.
Selain kedua gurunya tersebut, Rasyid Ridho banyak terpengaruhinya oleh
beberapa buku karya Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul
Wahhab. Hal itu, mendongkrak produtivitasnya, setelah sebelumnya tenggelam dalam
kubangan kemalasan. Perbedaan pendapat di antara murid dan sang guru itu terus
berlanjut, bahkan semakin tajam saat Rasyid berhijrah ke Mesir apalagi melalui
majalahnya, al-Manar, Rasyid sangat mengingkari perbuatan para ahli tarekat Sufi itu.
Sebab ia sudah melihat sendiri betapa kemungkaran dan bid’ah yang terjadi dalam
berbagai kegiatan spritual tarekat-tarekat sufi. Sementara itu, sang guru, al-Jisr gigih
pula membantah pendapat Rasyid, yang kemudian dibalas pula oleh Rasyid melalui
majalahnya.
Setelah banyak membaca dan mendapatkan ilmu dari bacaannya terhadap bukubuku
karya Syaikhul Islam, lbnu Taimiyyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim, ditambah
buku karya Ibn Hajar az-Zawaajir An Iqtiraaf a1-Kabaa’ir, Rasyid terus menentang
tindakan para penyembah kuburan (Quburiyyun) dari kalangan aliran tasawuf dan
lainnya. la pun telah mengkaji secara seksama buku karangan al-Alusi, Jalaa’l al-
Ainain Fii Muhaakamati al-Ahmadiin.
C. Manhaj dan Pemikiran Agama
Setelah banyak berguru kepada Muhammad Abduh, Rasyid Ridla berpendapat
bahwa madzhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah lebih ditekankan pada
cara pengambilan hukum dari nash yang ditempuh oleh seorang mujtahid tertentu.
Jadi bukan dalam artian mengikuti dan tunduk pada hasil mujtahid tertentu, tetapi
bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara atau metode yang mereka tempuh
dalam beristinbath hukum . Dengan demikian bermadzhab bukan bagi mereka yang
awam, seperti umum dipahami, tetapi bagi mereka yang berijtihad dalam lingkungan
madzhab tertentu. Mereka ini dalam istilah Ushul Fiqh adalah Mujtahid Bil-Madzhab.
Maka fanatisme madzhab yang biasanya terjadi di kalangan awam dapat dihindari
dan sikap taklid bisa diatasi. Akan tetapi, menurut Abduh, yang terjadi di masyarakat
adalah sebaliknya. Generasi sesudah mujtahid mengikuti hasil ijtihad yang mereka
dapatkan, bukan mengambil cara yang ditempuh oleh para imam. Akibatnya,
terjadinya perselisihan pendapat yang membawa perpecahan di kalangan muslimin
sendiri. Fanatisme madzhab pun mucul dan taklid tidak bisa dihindarkan.
D. Sejarah dan Perjuangan Politik
Rasyid Ridha mengembangkan gagasan modernisme Islam yang awalnya digagas
oleh kedua gurunya Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ridha
mempelajari kelemahan-kelemahan masyarakat muslim saat itu, dibandingkan
masyarakat kolonialis Barat, dan menyimpulkan bahwa kelemahan tersebut antara
lain kecenderungan umat untuk mengikuti tradisi secara buta (taqlid), minat yang
berlebihan terhadap dunia sufi dan kemandegan pemikiran ulama yang
mengakibatkan timbulnya kegagalan dalam mencapai kemajuan di bidang sains dan
teknologi. Beliau berpendapat bahwa kelemahan ini dapat diatasi dengan kembali ke
prinsip-prinsip dasar Islam dan melakukan ijtihad dalam menghadapi realita modern.
III. KETERKAITAN MUHAMMAD ABDUH DENGAN RASYID RIDHO
Cita-cita yang ingin diwujudkan Rasyid Ridho saat itu, bukan saja membebaskan
bangsa Arab dari kolonialisme Eropa, lebih dari itu untuk kembali mewujudkan
keagungan peradaban Islam dengan menjadikan tatanan masyarakat Madinah di masa
Nabi Muhammad dan para khalifah yang empat pada abad pertama hijriah sebagai
model dan sumber otoritas.
Tapi dalam perkembangannya, tidak sedikit pun cita-cita itu terwujud. Padahal
dua pioner pemikir modern Islam, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho telah
membuka jalan bagi terjadinya Islamic Renaissance dengan mengupayakan
penyatuan modernitas Barat dengan tradisi Islam klasik pada fase kedua kebangkitan
Islam Arab yang terjadi antara tahun 1870 hingga 1900. Abduh dan Ridho saat itu
berupaya menafsirkan ulang Islam agar senantiasa sesuai dengan kehidupan modern.
Selanjutnya, era kolonial Eropa berakhir bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia
Kedua. Pada saat yang bersamaan, kekuatan militer-ekonomi Uni Soviet dan Amerika
Serikat menggantikan kolonial Eropa. Proyek pemikiran Islamic Renaissance yang
telah digagas Abduh dan Ridho, juga diganti gerakan ‘ashabiyah nasionalisme Pan
Arab dengan gagasan pokoknya, semua negara Timur Tengah yang berbahasa Arab
adalah sebuah kesatuan politik, dan Islam Kafah yang diusung Ikhwanul Mislimin di
Mesir dengan gagasan, Islam menjadi satu-satunya dasar yang shahih dalam
pengaturan sosial dan politik. (Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab,
2004: xxii, alih bahasa). Jauh sebelumnya, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab telah
memproklamerkan ideologi politik serupa di Saudi Arabia dengan Wahabismenya.
Peran dan kiprah Muhammad Abduh dalam mengangkat citra Islam dan kualitas
umatnya dari keterpurukan memang tak kecil. Dialah seorang mujaddid dan mujtahid
sekaligus, yang pada masanya, bukan saja mengalami tentangan internal maupun
eksternal. Berkat upayanya, meski belum begitu maksimal, modernisme
pemikirannya mulai kelihatan. Dalam pengamatan cendekiawan Muslim Dr
Nurcholish Madjid, 'modernisme' Abduh, antara lain, tercermin dalam sikapnya yang
apresiatif terhadap filsafat. Ia peroleh wawasan itu dari gurunya, Jamaluddin Al-
Afghani, seorang penganjur gigih Pan-Islamisme dan orator politik yang memukau.
IV. PENGARUH PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH DAN RASYID
RIDHO DI INDONESIA
Di Indonesia, pemikiran Abduh banyak mempengaruhi perjalanan dan patron
ormas Islam, Muhammadiyah, di mana banyak persamaan antara keduanya. Di antara
warisan intelektualnya adalah Risalah al-Tauhid. Sedangkan Tafsir Al Manar
merupakan kumpulan pidato-pidato, pikiran-pikiran, dan ceramah-ceramahnya yang
ditulis oleh muridnya, syeikh Mohammad Rasyid Ridha.
Dari pemikiran yang diusung oleh Muhammad Abduh telah berimplikasi positif
bagi tumbuhnya pembaharuan yang dipelopori oleh KH.M.Dahlan pendiri organisasi
Muhammadiyah pada tahun 1912 M.
Sejarawan muslim Indonesia, Deliar Noor menggolongkan pemikiran Muhammad
Abduh telah siap menjadi penyaring dalam mengadaptasi metode-metode Barat di
dalam kultur dan aktivitas Muhammadiyah. Bahkan Muhammadiyah tidak sungkan
mengadopsi sistem dan teknik pendidikan modern dengan kurikulum perpaduan
antara subyek agama dengan mata pelajaran umum. Mereka telah melangkah lebih
jauh dengan mendirikan sekolah-sekolah belanda semacam MULO PLUS, HIS dan
AM PLUS pada saat itu. Dalam konteks inilah Muhammadiyah termasuk gerakan
reformis modern dalam tataran praktis yang terilhami dari ide Muhammad Abduh dan
muridnya Rosyid Ridha.Tapi disisi lain, pengibaran bendera modernis Islam dan
kiprah Muhammadiyah menghadapi bid'ah dan khufarat lahir pula Nahdlotul Ulama
yang dipelopori oleh KH. Hasyim Asy'ari pada tahun 1926 M.
Kendati demikian Ormas Islam di Indonesia kini cenderung moderat, seperti,
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) meminta campur tangan pemerintah
untuk melarang kehadiran ideologi Islam transnasional –termasuk gerakan Islam
puritan- di Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Ketua Umum PBNU Hasyim
Muzadi saat melakukan temu wicara Mahkamah Konstitusi (Kompas, 26 Februari
2007).
”Hemat saya, pemerintah tidak perlu campur tangan. Biarkan saja demokrasi yang
sedang tumbuh ini menyajikan pasar bebas ide-ide keagamaan. Inilah tantangan
terberat dan terkini bagi NU dan Muhammadiyah untuk menanamkan kesadaran
kepada masyarakat muslim tentang pentingnya agama sebagai way of life, bukan
sebagai ideologi politik dalam kaitan hubungan Islam dan negara di Indonesia.”
Islam moderat sebagai modal kultural demokrasi kita butuhkan untuk membangun
kehidupan yang jauh lebih baik. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam Indonesia
mengikuti hukum sejarah yang non-linear, mengalami kontinuitas, diskontinuitas dan
perubahan. Karena itu tidak seperti Islam di Timur Tengah, Islam di Indonesia
mampu merespon gerak sejarah secara terbuka dan adaptif, termasuk terhadap ide-ide
progesif dan demokrasi.
Islam Indonesia bukan saja telah mampu mendialogkan nilai-nilai progresif dan
demokratis di ruang publik, bahkan telah mampu mempraksiskannya. Kini, Islam
Indonesia tampil sebagai sebuah model masyarakat muslim demokratis atau muslim
demokrat bagi dunia Islam. Lebih dari itu, dengan karakternya demikian, Islam
Indonesia juga memiliki nilai tambah untuk menjembatani dan mendialogkan Barat
dan Islam.
V. KESIMPULAN
VI. REFERENSI
El Fadl, Khaled Abou, And God Knows The Solders, The Authoritative and The
Authoritarian in Islamic Discourses, (Maryland:University Press of America, rev.
ed.,1997:2).
Mallat, Chibli, The Renewall of Islamic Law, Muhammad Bager as-Sadr, Najaf and the
Shi’i International, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003:4).
Mun’im Madjid, Tarikh Al-Hadharoh Al-Islamiyyah fi Al-‘Ushur Al-Wustho, (Cetakan
keempat. Maktabah Al-Anhal Al-Mishriyyah, Kairo-Mesir, 1978).
Hourani, Albert, alih bahasa, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung: Penerbit
Mizan 2004: xxii).
Sukidi Mulyadi, artikel Defisit Demokrasi di Dunia Islam, dalam Islam Negara dan Civil
Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005: 229).
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bintang Bulan, 1994)
Asep Gunawan. "Artikulasi Islam Kultural". Jakarta,. PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Ahmad Sobandi. "Islam dan Tantangan Zaman". Bandung. Pustaka Hidayah, 1996.
Jalaluddin Rahmad. "Jejak Pemimpin Pembaharuan Sampai Guru Bangsa". Yogyakarta.
Pustaka Pelajar, 2001.
Maryam Jamilah. "Islam dan Modernisme". Surabaya. Usaha Nasional, tt.
Deliar Noor. "Gerakan Modernis Islam di Indonesia". Jakarta. Pustaka LP3ES Indonesia,
1996
Abdul Sani, Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998),
hal. 49.
Williard G. Oxtoby, World Relegion (Kanada: Oxford University Press, 2002.
Oliver Roy, Op.Cit.
A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam.
ibid.
H.A.R. Gibb, Op.Cit., hal 204.
A. Hanafi, Op.Cit.
Dr. Ridjaluddin http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=3
Kompas, 26 Februari 2007
www.rakyatmerdeka.co.id
Pencarian
TERANSLIT
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
SMS Onlain Geratis
Syarat dan Kondisi menurut SMS ONLAIN GERATIS(http://sms-online.web.id)
* Dilarang keras mengirim sms penipuan, asusila, atau segala bentuk aktifitas yang bertentangan dengan hukum positif di Indonesia.
* Isi sms adalah diluar tanggung jawab penyelenggara sms-online.web.id
* Penyelenggara sms-online.web.id tidak menjamin bahwa sms pasti sampai ke tujuan, namun status pengiriman dapat dilihat sendiri pada halaman INBOX & STATUS.
* Penyelenggara sms-online.web.id berhak menghapus sms anda agar tidak terkirim tanpa harus menjelaskan alasannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar