PENULISAN MAKALAH
1.Pengertian makalah
Makalah adalah karya tulis ilmiyah mengenai suatu topik tertentu yang tercakup dalam ruang lingkup suatu perkuliahan. Makalah merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan s uatu perkuliahan.
2.Karteristik Makalah
Suatu makalah memiliki karateristik sebagai berikut:
a. Merupakan hasil kajian literature dan atau laporan pelaksanan suatu kegiatan lapangan yang sesuai dengan cakupan permasalahan suatau perkuliahan.
b. Mendemonsterasikan pemahaman mahasiswa tentang permasalahan teoritik yang dikaji atau kemampuan mahasiswa dalam menerapkan suatu prosedur, prinsip, atau teori yangberhubungan dengan perkuliahan.
c. Menunjukkan kemampuan terhadap isi dari berbagai sumber yang di gunakan.
d. Mendemonsterasikan kemampuan meramu berbagai sumber informasi dalam suatu kesatuan sintesis yang utuh.
3.Jenis Makalah
Ada dua jenis makalah yang berlaku di perguruan tinggi,makalah biasa(ordinary paper), dan kedua makalah posisi (position paper). Makalah biasa dibuat mahasiswa untuk menunjukan pemahamannya terhadap permasalahan yang di bahas. Dalam makalah ini secara diskeriptif, mahasiswa di perkenankan mengemukan berbegai aliran ataupandangan yang ada tentang masalah yang di kaji. Ia juga memberikan pendapat baik berupa keritik atau saranmengenai aliran atau pendapat yag di keukan. Tetapi dia tidak perlu memihak salah satu aliran atau pendapat tersebut. Dengan demikian dia tidak perlu berargumentasi mempertahan kan pendapat tersebuat. Makalah yang demikian di namakan makalah biasa (ordinary paper).
Mahasiswa dapat pula di minta membuat makalah untuk menunjukan posisi teoritiknya dalam suatu kajian. Untuk makalah jenis ini mahasiswa diminta tidak saja menunjukan penguasaan pengatahuan tertentu tapi juga dipersaratkan untuk menunjukan di pihak man dia berdiri. Makalah ysng demikian di namakan makalah posisi (position paper).
Untuk dapat menbuat makalah posisi, mahasiswa harus membaca berbagai sumber dari berbagai aliran tentang topic yang dibahas. Dari bahasa tersebut mungkin saja mahasiswa tadi memihak salah satu aliran yang ada tapi mungkin pula dia membuat suatu sintesis dari berbagai pendapat yang ada. Jadi kemampuan analisis. Sintesis dan evaluasi merupakan kemampuan mutlak yang aharus dikuasai mahasiswa. Dengan kemampuan-kemampuan ini suatu makalh suatu makalah posisi dapat dihasilkan.
4.Jenis Makalah dan Jenjang Pendidikan
Mengingat kakteristik dan terutama tingkat komleksitasnya,makalah bias di persyaratkan sebagai tugas setiap jenjang pendidikan,artinya baik mahasiswa diploma,S1,S2 dan S3 dapat dikenakan tugasmembuat makalah. Untuk setiap dua sks mahasiswadi harapkandapat membuat satu makalah. Jadi mahasiswa yang mengambil bebean semester sebesar 20 – 22 sks di harapkan telah membuat 10 – 11 makalah.
Makalah posisi di wajibkan untuk tingkat pascaserjana. Pada tingkat di bawahnya diberikan secara terbatas yaitu pada tahun keempat program S1. Mahasiswa S1 cukup membuat satu makalah posisi untuk setiap semester. Dengan demikian, selama menjadi mahasiswa S1 mereka di harapkan membuat 2(dua) dan paling banyak 4 (empat) maklah posisi. Makalah posisi tersebut berhubung dengan mata kuliah pokok bidang setudi.
Sedang untuk tingkat pascasarjana makalah posisi ini diberikan lebih sering di bandingkan pendidikan jenjang pendidikan di bawahnya. Untuk mahasiswa S2 makalah posisi di haruskan bagi setiap mata kuliah Bidang Setudi(BS) setiap semester.
Untuk jenjang S3,makalah posisi sudah merupakan tugas dari setiap mata kuliah BS mahasiswa S3. Mahasiswa S3 harus mampu mendemonsterasikan posisinya dalam setiap mata kuliah yang di tempuhnya dan harus pula mempertanggung jawabkan posisi tersebut. Debgab demikian, untuk mahasiswa S3 minimal satu makalah posisi untuk setiap mata kuliah BS.
5.Sistematika Makalah
Baik makalah biasa maupun makalah posisi terdiri atas:
a.Pendahuluan
Di bagikan ini kemukkan persoalan yang akan di bahas (latar belakang masalah,masalah,prosedur pemecahan masalah dan sesetematika uraian).
b.Isi
Mendemonstersikan kemampuannya dalam menjawab masalah yang diajukan. Bagi isi ini boleh saja terdiri atas lebih satu bagian.
c.Kesimpulan
Bagian ini merupakan kesimpulan dan bukan ringksan isi. Kesimpulan adalah makna yang di berikan penulis terhadap hasil diskusi/uraian yang telah di lakukannya dalam bagian isi. Dalam mengambil kesimpulan tersebut penulis makalah tentu saja harus kembali kepermasalahan yang dijukan dalam bagian pendahuluan.
Daftar bacaan
Penulis:O.setiawan
Penerbit: ybama widya
Pencarian
TERANSLIT
Jumat, 26 Maret 2010
Rabu, 03 Maret 2010
Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia dan Perkawunan wanita hamil
Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia
dan Perkawunan wanita hamil
l. PEMBAHASAN
A. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah :
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.
B. Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama
Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan, ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan asal daerahnya.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
C. Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama
Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga semestinya pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat ditolak.
Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.
Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan pasangannya.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan hukum.
Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan antar agama. Maka MA berpendat bahwa tidak dapat dibenarkan terjadinya kekosongan hukum tersebut, sehingga perkawinan antar agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif, maka MA harus dapat menentukan status hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.
Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi, namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No. 1/1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56 UU No. 1/1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung.
Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya perkawinan antar agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan.
II Pembahasam
1.Perkawunan wanita hamil
Perkawunan wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah,kemudian di nikahi oleh pria yang menghamilinya. Olehkarena itu , masalah kawin dengan perempuan yang hamil di perlukan penelitian dan perhatian yang bijaksana terutama oleh pegawai pencatatan nikah.Hal itu di maksudkan agar tidak terjadi pernikahan pada waktu hamil dengan laki-laki yang bukan menghamilinya/bukan bapak biologis bakal anak.
1.1 Dan dalam buku Kompilasi Hukum Islam tentang pernikahanwanita hamil dikatakan sebagai sebagai berikut:
KOMPILASI HUKUM ISLAM *
BUKU I
HUKUM PERKAWINAN
BAB VIII
KAWIN HAMIL
Pasal 53
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dialngsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang
setelah anak yang dikandung lahir.
Pasal 54
(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga
boleh bertindak sebagai wali nikah.
(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram
perkawinannya tidak sah.
Dasar pertimbangan KHI terhadap perkawinan wanita hamil Adalah surah An-Nur (24) ayat 3 yang berbunyi:
Artunya:
3. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min [1029].
[1029]. Maksud ayat ini ialah: tidak pantas orang yang beriman
kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya.
1.2 Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam :
Satu : Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Dua : Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini Wal ‘iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.
Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas ‘iddah nya. Dan ‘iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”. (QS. Ath-Tholaq : 4).
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :
“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya”. (QS. Al-Baqarah : 235).
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini : “Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘iddah-nya”. Kemudian beliau berkata : “Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah”. (Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu’ 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma’ad 5/156.)
Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi diseputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah Al-’Alim Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut :
Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para ‘ulama.
1.3 Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama :
Satu : Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu ‘Ubaid.
Dua : Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 :
“Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan”. Tarjih diatas berdasarkan firman Allah ‘Azza Wa Jalla :
“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin”. (QS. An-Nur : 3).
Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata : “Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata : “Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wassallam lalu saya berkata : “Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq ?”.Martsad berkata : “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik”. Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata : “Jangan kamu nikahi dia”. (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya”. (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para ‘ulama yang mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat An-Nur ini bermakna jima’ atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115. Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Alamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.
Catatan :
Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat ini.
Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata : “Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur’an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina ?”.
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat :
1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber’azam (bertekad) dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahariterbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A’lam.
Syarat Kedua : Telah lepas ‘iddah.
Para ‘ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat :
Pertama : Wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua : Tidak wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaannantara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh nber-jima’ dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima’ sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
1.4 Tarjih
Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini :
1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos :
“Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali”. (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin ‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187).
2. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau bersabda :
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain”. (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137).
3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : “Barangkali orang itu ingin menggaulinya ?”. (Para sahabat) menjawab : “Benar”. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya”.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : “Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina”.
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A’lam.
Catatan :
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘Azza Wa Jalla :
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. Ath-Tholaq : 4).
Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya berpendapat : tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak.
Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Dan ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur’an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu :
“Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid)”. (QS. Al-Baqarah : 228).
1.5 Kesimpulan Pembahasan :
1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah sebagai berikut :
• Kalau ia hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
• Kalau ia belum hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.
Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma’ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.
2. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa ‘iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya : “Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa ‘iddah?”. Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat dikalangan para ‘ulama.
Jumhur (kebanyakan) ‘ulama berpendapat : “Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas ‘iddah-nya”.
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan hal tersebut. Dan pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi’iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas ‘iddah. Wal ‘Ilmu ‘Indallah. Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).
3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima’ maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut.
Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan.
Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya,dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali”. (HR. Syafi’iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, ‘Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no.698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa’id bin Manshur dalam sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 3/7, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu ‘Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840).
1.6 Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa ‘iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala :
“Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan” (QS. An-Nisa` : 4).
Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
“Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban”.(QS.An-Nisa` : 24)
Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A’lam.
Lihat : Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494, Al-Fatawa 32/198,200 dan Zadul Ma’ad 5/104-105.
1.7 HAMIL DI LUAR NIKAH DAN MASALAH NASAB ANAK ZINA
Dalam fasal ini ada beberapa kejadian yang masing-masing berbeda hukumnya, maka kami
berkata:
1.7.1. Apabila seorang perempuan [Gadis atau janda] berzina
kemudian hamil, maka anak yang dilahirkannya adalah anak
zina dengan kesepakatan para ulama, walaupun kemudian
perempuan tersebut dinikahi/tidak dinikahi oleh laki-laki yang
menzinainya.
• Nasab : Dinasabkan kepada ibunya [Misalnya Fulan bin Fulanah atau Fulanah binti
Fulanah], tidak dinasabkan kepada bapak zinanya.
• Hak Waris : Hak waris terputus dengan bapaknya, dia hanya mewarisi ibunya dan
ibunya mewarisinya.
• Hak Perwallian : Seorang anak perempuan dari hasil zina, terputus dengan
perwaliannya dengan bapaknya. Yang menjadi wali nikahnya ialah sultan
(penguasa) atau wakilnya seperti qadli (penghulu)1. Dan tidak wajib bagi bapaknya
memberi nafkah kepada anak yang lahir dari hasil zina2.
• Hubungan Mahram : Tidak terputus. Lebih luasnya lagi bacalah kitab-kitab dibawah
ini:
[1]. Al-Mughni Ibnu Qudamah (Juz 9 hal. 529-530 tahqiq Doktor Abdullah bin
Abdul Muhsin At-Turkiy)
[2]. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah (Jilid 32, hal. 134-152)
[3]. Majmu Syarah Muhadzdzab (Juz 15 hal. 109-113)
[4]. Al-Ankihatul Faasidah (Hal. 75-79 Abdurrahman bin Abdirrahman Sumailah Al-
Ahsal).
1.7.2. Apabila terjadi sumpah li’aan3 antara suami isteri.
• Nasab : Dinasabkan kepada ibunya. Dalam kasus li’aan ini anak dinasabkan kepada
isteri baik tuduhan suami itu benar atau bohong.
• Hak Waris : Hak waris terputus dengan bapaknya, dia hanya mewarisi ibunya dan
ibunya mewarisinya.
• Hak Perwalian : Terputus dengan perwaliannya dengan bapaknya. Yang menjadi
wali nikahnya ialah sultan (penguasa) atau wakilnya seperti qadli (penghulu). Dan
tidak wajib bagi bapaknya memberi nafkah [Fathul baari (no. 5315). Nailul Authar
Juz 7 hal.91 dan seterusnya]
1 Al-Muhalla Ibnu Hazm Juz 10 hal 323 masalah 2013. Al-Majmu Syarah Muhadzdzab Juz 15 hal. 112.
Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 34/100
2 Tidak wajib maknanya tidak berdosa kalau dia tidak memberi nafkah, akan tetapi tidak juga terlarang
baginya untuk memberi nafkah. Ini berbeda dengan anak dari pernikahan yang shahih, berdosa bagi
seorang bapak kalau dia tidak memberi nafkah kepada anak-anaknya
3 Suami menuduh isterinya berzina atau menafikan anak yang dikandung isterinya di muka
hakim sehingga dilaksanakan sumpah li’aan.
1.7.3. Apabila seorang isteri berzina –baik diketahui suaminya [Dan
suaminya tidak menuduh istrinya di muka hakim sehingga tidak
terjadi hukum li’aan] atau tidak- kemudian dia hamil
• Nasab : Dinasabkan kepada suaminya bukan kepada laki-laki yang menzinai dan
menghamilinya berdasarkan sabda Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur dan bagi yang
berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut)” 4
• Hak Waris : Hak waris tidak terputus dengan bapaknya [suami yang istrinya
berzina].
• Hak Perwallian : Tidan terputus dengan perwaliannya dengan bapaknya [suami
yang istrinya berzina]
• Hubungan Mahram : Tidak terputus.
Sedangkan pada kasus di atas tidak terjadi sumpah li’aan meskipun suami mengetahui
bahwa isterinya telah berzina dengan laki-laki lain. Ini disebabkan suami tidak
melaporkan tuduhannya ke muka hakim sehingga tidak dapat dilaksanakan sumpah
li’aan. 5
1.7.4 Apabila seorang perempuan berzina kemudian hamil, bolehkah
ia dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya dan kepada siapa
dinasabkan anaknya?
Boleh dia dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya dan menghamilinya
dengan kesepakatan (ijma) para ahli fatwa sebagaimana ditegaskan oleh Imam
Ibnu Abdil Bar yang dinukil oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Fathul Baari (Juz 9 hal.
157 di bagian kitab nikah bab 24 hadits 5105) 6. Untuk lebih jelasnya lagi marilah kita
ikuti fatwa para ulama satu persatu dari para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan seterusnya :
• Fatwa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Berkata Ibnu Umar : Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq sedang berada di masjid
tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu Abu Bakar berkata kepada Umar,
“Berdirilah dan perhatikanlah urusannya karena sesungguhnya dia
mempunyai urusan (penting)” Lalu Umar berdiri menghampirinya,
kemudian laki-laki itu menerangkan urusannya kepada Umar,
“Sesungguhnya aku kedatangan seorang tamu, lalu dia berzina dengan
anak perempuanku!?” Lalu Umar memukul dada orang tersebut dan
berkata, “Semoga Allah memburukkanmu! Tidakkah engkau tutup saja
(rahasia zina) atas anak perempuan itu!” Kemudian Abu Bakar
memerintahkan agar dilaksanakan hukum had (didera sebanyak seratus
kali) terhadap keduanya (laki-laki dan perempuan yang berzina).
Kemudian beliau menikahkan keduanya lalu beliau memerintahkan agar
keduanya diasingkan selama satu tahun. [Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hazm
4 Hadits shahih riwayat Bukhari no. 6749 dan Muslim no. 4/171 dari jalan Aisyah dalam hadits yang
panjang. Dan Bukhari no. 6750, dan 6818 dan Muslim 4/171 juga mengeluarkan dari jalan Abu Hurairah
dengan ringkas seperti lafadz di atas
5 Apabila seorang istri berzina atau suami berzina maka nikah keduanya tidak batal (fasakh) menurut
umumnya ahli ilmu (Al-Mughni Juz 9 hal. 565)
6 Baca juga Kitaabul Kaafi fi Fiqhi Ahlil Madinah (Juz 2 hal.542) oleh Imam Ibnu Abdil bar. Tafsir Fathul
Qadir (1/446 tafsir surat An-Nisaa ayat 23) oleh Imam Asy-Syaukani
di kitabnya Al-Muhalla juz 9 hal. 476 dan Imam Baihaqiy di kitabnya Sunanul Kubro
juz 8 hal. 223 dari jalan Ibnu Umar) 7
• Fatwa Umar bin Khaththab
Fatwa Abu Bakar di atas sekaligus menjadi fatwa Umar bahkan fatwa para
shahabat. Ini disebabkan bahwa fatwa dan keputusan Abu Bakar terjadi di hadapan
para shahabat [Al-Muhalla Juz 9 hal 476] atau diketahui oleh mereka khususnya
Umar. Dan semua para shahabat diam menyetujuinya dan tidak ada seorang pun di
antara mereka yang mengingkari fatwa tersebut. Semua ini menunjukkan telah
terjadi ijma di antara para shahabat bahwa perempuan yang berzina kemudian
hamil boleh bahkan harus dinikahkan dengan laki-laki yang menzinainya dan
menghamilinya. Oleh karena itu kita melihat para shahabat berfatwa seperti di atas
di antaranya Umar bin Khaththab ketika beliau menjadi khalifah sebagaimana
riwayat di bawah ini.
Berkata Abu Yazid Al-Makkiy, “Bahwasanya ada seorang laki-laki nikah
dengan seorang perempuan. Dan perempuan itu mempunyai seorang
anak gadis yang bukan (anak kandung) dari laki-laki (yang baru nikah
dengannya) dan laki-laki itupun mempunyai seorang anak laki-laki yang
bukan (anak kandung) dari perempuan tersebut (yakni masing-masing
membawa seorang anak, yang laki-laki membawa anak laki-laki dan yang
perempuan membawa anak gadis). Lalu pemuda dan anak gadis tersebut
melakukan zina sehingga nampaklah pada diri gadis itu kehamilan. Maka
tatkala Umar datang ke Makkah diangkatlah kejadian itu kepada beliau.
Lalu Umar bertanya kepada keduanya dan keduanya mengakui (telah
berbuat zina). Kemudian Umar memerintahkan mendera keduanya
(dilaksanakan hukum had) 8. Dan Umar sangat ingin mengumpulkan di
antara keduanya (dalam satu perkawinan) akan tetapi anak muda itu
tidak mau” [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/155) dengan sanad yang shahih]
• Fatwa Abdullah bin Mas’ud
Dari Hammam bin Harits bin Qais bin Amr An-Nakha’i Al-Kufiy, “Dari Hammaam
bin Harits bin Qais bin Amr An-Nakha’i Al-Kufiy dari Abdullah bin Mas’ud
tentang, “Seorang anak laki-laki yang berzina dengan seorang
perempuan kemudian laki-laki itu hendak menikahi perempuan
tersebut?” Jawab Ibnu Mas’ud, “Tidak mengapa yang demikian itu”
[Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156) secara mu’allaq dengan sanad yang
shahih]
Dari Al-Qamah bin Qais (ia berkata) : Sesungguhnya telah datang seorang
laki-laki kepada Ibnu Mas’ud, lalu laki-laki itu bertanya, “Seorang lakilaki
berzina dengan seorang perempuan kemudian keduanya bertaubat
dan berbuat kebaikan, apakah boleh laki-laki itu kawin dengan
perempuan tersebut? “ Kemudian Ibnu Mas’ud membaca ayat ini,
“Kemudian sesungguhnya Rabb-mu kepada orang-orang yang
mengerjakan kejahatan dengan kebodohan9, kemudian sesudah itu
mereka bertaubat dan mereka berbuat kebaikan, sesungguhnya Rabb-mu
sesudah itu Maha Pengampun (dan) Maha Penyayang” [An-Nahl : 119]
Berkata Al-Qamah bin Qais, “Kemudian Ibnu Mas’ud mengulang-ulang ayat
7 Baihaqiy meriwayatkan dari jalan yang lain bahwa perempuan tersebut hamil (9/476) lihat juga
Mushannaf Abdurrazzaq (12796)
8 Diriwayatkan Imam Abdurrazzaq (Mushannaf Abdurrazzaq (7/203-204 no. 12793) bahwa Umar
mengundurkan hukuman kepada anak gadis tersebut sampai dia melahirkan
9 Kebodohan disini maksudnya perbuatan maksiat yang dilakukan dengan sengaja. Karena setiap orang
yang maksiat kepada Allah dikatakan jahil (tafsir Ibnu Katsir 2/590)
tersebut berkali-kali sampai orang yang bertanya itu yakin bahwa Ibnu
Mas’ud telah memberikan keringanan dalam masalah ini (yakni beliau
membolehkannya)”. [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156). Kemudian Imam
Baihaqiy (7/156) juga meriwayatkan dari jalan yang lain yang semakna dengna
riwayat di atas akan tetapi di riwayat ini Ibnu Mas’ud membaca ayat): 10 “Dan
Dialah (Allah) yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan
memaafkan dari kesalahan-kesalahan (mereka) dan Dia mengetahui apaapa
yang kamu kerjakan” [Asy-Syura : 25] [Lihat riwayat yang semakna di
Mushannaf Abdurrazzaq (7/205 no. 12798)]
Dalam sebagian riwayat ini terdapat tambahan : Setelah Ibnu Mas’ud membaca
ayat di atas beliau berkata, “Hendaklah menikahinya!”.
• Fatwa Ibnu Umar.
Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan
seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu Umar,
“Jika keduanya bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal
shalih)” [Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hazm di Al-Muhalla juz 9 hal. 475.
• Fatwa Jabir bin Abdullah
Berkata Jabir bin Abdullah, “Apabila keduanya bertaubat dan keduanya
berbuat kebaikan, maka tidak mengapa (tidak salah dilangsungkan
pernikahan di antara keduanya) –yakni tentang laki-laki yang berzina
dengan seorang perempuan kemudian dia ingin menikahinya-“
[Dikeluarkan oleh Ibnu Hazm (9/475), dikeluarkan juga oleh Imam Abdurrazzaq
(7/202) yang semakna dengan riwayat di atas]
• Fatwa Ibnu Abbas
Berkata Ubaidullah bin Abi Yazid , “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas
tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan
bolehkah dia menikahinya ?” Jawab beliau, “Ya”, karena (nikah itu)
perbuatan halal” [Dikeluarkan oleh Baihaqiy (7/155) dengan sanad yang shahih]
[Al-Mushannaf Abdurrazaq (7/203)]
Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas : Tentang seorang laki-laki yang berzina
dengan seorang perempuan kemudian sesudah itu dia menikahinya ?
Beliau berkata, “Yang pertama itu zina sedangkan yang terakhir nikah
dan yang pertama itu haram sedangkan yang terakhir halal” [Dikeluarkan
Baihaqiy (7/155) 11 Dan dalam riwayat yang lain juga dari jalan Ikrimah ada
tambahan, “Tidak salah (yakni menikahinya)]
Berkata Said bin Jubair : Ibnu Abbas pernah ditanya tentang seorang lakilaki
dan seorang perempuan yang masing-masing dari keduanya telah
menyentuh yang lain dengan cara yang haram (yakni keduanya telah
berzina), kemudian nyatalah (kehamilan) bagi perempuan tersebut lalu
laki-laki itu menikahinya? Jawab Ibnu Abbas : “Yang pertama itu zina
sedangkan yang kedua nikah” [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (3/267 dengan
sanad yang hasan)]
Berkata Atha bin Abi Rabah : Berkata Ibnu Abbas tentang laki-laki yang
berzina dengan seorang perempuan, kemudian dia menikahinya, “Yang
10 Imma kejadian ini satu kali dan masing-masing rawi membawakan satu ayat dari dua ayat yang
dibaca Ibnu Mas’ud atau kejadian di atas dua kali. Wallahu a’lam
11 Mushannaf Abdurrazzaq (7/202) maksud perkataan Ibnu Abbas di riwayat 1 s/d 4 ialah bahwa zina
itu haram sedangkan nikah itu halal, maka zina yang haram itu tidak bisa mengharamkan nikah yang
memang halal. Karena sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan sesuatu yang halal
pertama dari urusannya itu adalah zina, sedangkan yang terakhir nikah”
[Dikeluarkan Abdul Razzaq 7/202]
Dari Thawus, ia berkata : Diriwayatkan kepada Ibnu Abbas, “Seorang lakilaki
menyentuh perempuan dengan cara yang haram (yakni zina),
kemudian dia menikahinya?” Jawab beliau, “itu baik –atau beliau
mengatakannya- itu lebih bagus” [Dikeluarkan Abdurrazzaq 7/203]
Demikian juga fatwa para Tabi’in seperti Said bin Musayyab, Said bin Jubair, Az-
Zuhri dan Hasan Al-Bashri dan lain-lain Ulama. [Baihaqiy 7/155 dan Abdurrazzaq
7/203-207]
Dari keterangan-keterangan di atas kita mengetahui:
a. Telah terjadi ijma Ulama yang didahului oleh ijmanya para shahabat tentang
masalah bolehnya perempuan yang berzina kemudian hamil dinikahi oleh laki-laki
yang menzinai dan menghamilinya.
b. Mereka pun memberikan syarat agar keduanya bertaubat dan berbuat kebaikan
(beramal shalih) dengan menyesal dan membenci perbuatan keduanya.
Adapun mengenai hukuman bagi yang berzina (hukum had) yang melaksanakannya
adalah pemerintah bukan orang perorang atau kelompok perkelompok. Oleh karena di
negeri kita ini sebagaimana negeri-negeri Islam yang lainnya kecuali Saudi Arabia tidak
dilaksanakan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti hukum had dan lain-lain,
ini tidak menghalangi taubatnya orang yang mau bertaubat demikian juga nikahnya dua
orang yang berzina. Cukuplah bagi keduanya bertaubat dan beramal shalih.
Langsungkanlah pernikahan karena yang demikian itu sangat bagus sekali sebagaimana
dikatakan Ibnu Abbas. Bahkan laki-laki yang menzinai dan menghamili seorang
perempuan lebih berhak terhadap perempuan tersebut sebelum orang lain
[Abdurrazzaq (7/206-207)] dengan syarat keduanya mau dan ridha untuk
nikah. Apabila salah satunya tidak mau maka janganlah dipaksa hatta
perempuan tersebut telah hamil [Bacalah kembali riwayat Umar bin
Khaththab]. Ini, kemudian pertanyaan yang kedua kepada siapakah anak
tersebut dinasabkan?
Jawabnya :
Anak tersebut dinasabkan kepada ibunya bukan kepada laki-laki yang
menzinai dan menghamili ibunya (bapak zinanya) walaupun akhirnya lakilaki
itu menikahi ibunya dengan sah. Dan di dalam kasus seperti ini –di mana
perempuan yang berzina itu kemudian hamil lalu dinikahi laki-laki yang
menzinai dan menghamilinya- tidak dapat dimasukkan ke dalam keumuman
hadits yang lalu yaitu : “Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat
tidur (suami yang sah) dan bagi yang berrzina tidak mempunyai hal apapun
(atas anak tersebut)”. Ini disebabkan karena laki-laki itu menikahi
perempuan yang dia zinai dan dia hamili setelah perempuan itu hamil bukan
sebelumnya, meskipun demikian laki-laki itu tetap dikatakan sebagai bapak
dari anak itu apabila dilihat bahwa anak tersebut tercipta dengan sebab air
maninya akan tetapi dari hasil zina. Karena hasil zina inilah maka anak
tersebut dikatakan sebagai anak zina yang bapaknya tidak mempunyai hak
apapun atasnya dari hal nasab, waris, dan kewalian dan nafkah sesuai
dengan zhahirnya bagian akhir dari hadits diatas yaitu : “…. Dan bagi (orang)
yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut)”.
Berbeda dengan anak yang lahir dari hasil pernikahan yang sah, maka nasabnya kepada
bapaknya demikian juga tentang hukum waris, wali dan nafkah tidak terputus sama
sekali. Karena agama yang mulia ini hanya menghubungkan anak dengan bapaknya
apabila anak itu lahir dari pernikahan yang sah atau lebih jelasnya lagi perempuan itu
hamil dari pernikahan yang sah bukan dari zina. Wallahu a’lam 12
Sebagian orang di negeri kita ini ada yang mengatakan : Tidak boleh
perempuan yang hamil lantaran zina itu dinikahi hatta oleh laki-laki yang
menzinai atau menghamilinya sampai perempuan itu melahirkan berdasarkan
keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan perempuan-perempuan
yang hamil itu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan” [Ath-Thalaq : 4]
Kami jawab ; Cara pengambilan dalil seperti di atas sama sekali tidak tepat
dalam menempatkan keumuman ayat dan cenderung kepada pemaksaan
dalil.
Pertama : Ayat di atas untuk perempuan yang hamil dari hasil nikah bukan
untuk perempuan-perempuan yang hamil dari hasil zina. Karena di dalam
nikah itu terdapat thalaq, nafkah, tempat tinggal, ‘iddah, nasab, waris dan
kewalian. Sedangkan di dalam zina tidak ada semuanya itu termasuk tidak
adanya ‘iddah. Inilah perbedaan yang mendasar antara pernikahan dengan
perzinaan. Ayat di atas tetap di dalam keumumannya terhadap perempuan-perempuan
yang hamil yang dithalaq suaminya maka ‘iddahnya sampai dia melahirkan sesuai
keumuman ayat di atas meskipun ayat yang lain (Al-Baqarah : 234) menegaskan bahwa
perempuan-perempuan yang kematian suaminya ‘iddahnya empat bulan sepuluh hari.
Akan tetapi perempuan tersebut ketika suaminya wafat dalam keadaan hamil maka
keumuman ayat di ataslah yang dipakai. Atau ayat di atas tetap di dalam keumumannya
oleh sebagian ulama terhadap perempuan yang berzina lalu hamil kemudian dinikahi
oleh laki-laki yang bukan menghamilinya sebagaimana akan datang keterangannya di
kejadian kelima. Wallahu a’lam.
Kedua : Telah terjadi ijma’ Shahabat bersama para ulama tentang bolehnya
bagi seorang laki-laki menikahi perempuan yang dia hamili lantaran zina.
Bacalah kembali keterangan-keterangan kami di muka mengiringi apa yang telah
dikatakan oleh Imam Ibnu Abdil Bar bahwa dalam hal ini telah terjadi ijma’ ulama. Dan
anehnya tidak ada seorang pun di antara mereka yang berdalil dengan ayat di atas
untuk melarang atau mengharamkannya kecuali setelah perempuan itu melahirkan
anaknya ?
Apakah kita mau mengatakan bahwa kita lebih pintar cara berdalilnya dari para
Shahabat dan seterusnya?
5. Apabila seorang perempuan berzina kemudian dia hamil, maka
bolehkan dia dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya?
Dan kepada siapakah dinasabkan anaknya?
Madzhab Syafi’I dan Hanafi : Boleh dan halal dinikahi dengan alasan bahwa
perempuan tersebut hamil karena zina bukan dari hasil nikah. Abu Hanifah
mensyaratkan tidak boleh disetubuhi sampai perempuan tersebut
melahirkan. Sebagaimana kita ketahui bahwa syara’ (agama) tidak menganggap sama
sekali anak yang lahir dari hasil zina seperti terputusnya nasab dan lain-lain
sebagaimana beberapa kali kami jelaskan di muka. Oleh karena itu halal baginya
menikahinya dan menyetubuhinya tanpa harus menunggu perempuan tersebut
melahirkan anaknya.
Madzhab Hambali dan Maliki : Haram dinikahi sampai perempuan tersebut melahirkan,
12 Fatawa Islamiyyah (Juz 2 hal.353 dan 354, 374-375). Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
(32/134-142). Al-Mughni Ibnu Qudamah (Juz 9 hal.529-530). Al-Muhalla (Juz 10 hal.323) Fathul Baari
(Syarah hadits no. 6749). Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nisaa ayat 23. Dan lain-lain
beralasan kepada beberapa hadits :
Hadits Pertama.
“Dari Abu Darda dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau
pernah melewati seorang perempuan [Perempuan ini adalah seorang
tawanan perang yang tertawan dalam keadaan hamil tua] yang sedang hamil
tua sudah dekat waktu melahirkan di muka pintu sebuah kemah. Lalu beliau
bersabda, “Barangkali dia13 (yakni laki-laki yang memiliki tawanan14
tersebut) mau menyetubuhinya!?”. Jawab mereka, “Ya”. Maka bersabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku berkeinginan
untuk melaknatnya dengan satu laknat yang akan masuk bersamanya ke
dalam kuburnya15 bagaimana dia mewarisinya padahal dia tidak halal
baginya, bagaimana dia menjadikannya sebagai budak padahal dia tidak halal
baginya!?” 16 [Hadits Shahih riwayat Muslim 4/161]
Hadits Kedua
“Dari Abu Said Al-khudriy dan dia memarfu’kannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tawanantawanan
perang Authaas [Authaas adalah satu tempat di Thaif], “Janganlah
disetubuhi perempuan yang hamil sampai dia melahirkan dan yang tidak
hamil sampai satu kali haid” [Hadits riwayat Abu Dawud (no.2157), Ahmad (3/28,
62, 87) dan Ad-Darimi (2/171)]
Hadits Ketiga
“Dari Ruwaifi Al-Anshariy –ia berdiri di hadapan kita berkhotbah-, ia berkata : Adapaun
sesungguhnya aku tidak mengatakan kepada kamu kecuali apa-apa yang aku
dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada hari Hunain,
beliau bersabda, “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan
hari akhir untuk menyiramkan air (mani)nya ke tanaman [Ke rahim orang lain
yang telah membuahkan anak] orang lain –yakni menyetubuhi perempuan
hamil- [Penjelasan ini imma dari Ruwaifi atau dari yang selainnya] Dan tidak
halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
menyetubuhi perempuan dari tawanan perang sampai perempuan itu bersih.
Dan tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
mejual harta rampasan perang sampai dibagikan. Dan barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia menaiki kendaraan
13 Disini ada lafadz yang hilang yang takdirnya beliau bertanya tentang perempuan tersebut dan
dijawab bahwa perempuan tersebut adalah tawanan si Fulan
14 Hadits yang mulia ini salah satu dalil dari sekian banyak dalil tentang halalnya menyetubuhi tawanan
perang meskipun tidak dinikahi. Karena dengan menjadi tawanan dia menjadi milik orang yang
menawannya atau milik orang yang diberi bagian dari hasil ghanimah (rampasan perang) meskipun dia
masih menjadi istri orang (baca ; orang kafir). Maka dengan menjadi tawanan fasakhlah (putuslah)
nikahnya dengan suaminya. (Baca Syarah Muslim Juz 10. hal.34-36)
15 Hadits yang mulia ini pun menjadi dalil tentang haramnya menyetubuhi tawanan perang yang hamil
sampai selesai iddahnya yaitu sampai ia melahirkan dan yang tidak hamil ber’iddah satu kali haid
sebagaimana ditunjuki oleh hadits yang kedua insya Allah.
Berdasarkan hadits yang mulia ini madzhab yang kedua mengeluarkan hukum tentang haramnya
menikahi dan menyetubuhi perempuan yang hamil oleh orang lain sampai ia melahirkan.
16 Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bagaimana dia mewarisinya … dan seterusnya”, yakni
bagaimana mungkin laki-laki itu mewarisi anak yang dikandung oleh perempuan tersebut padahal anak
itu bukan anaknya. Dan bagaimana mungkin dia menjadikan anaknya itu sebagai budaknya padahal
anak itu bukan anaknya. Wallahu a’lam.
dari harta fa’i17 kaum muslimin sehingga apabila binatang tersebut telah
lemah ia baru mengembalikannya. Dan barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir maka janganlah ia memakai pakaian dari harta fa’i kaum
muslimin sehingga apabila pakaian tersebut telah rusak ia baru
megembalikannya” [Dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 2158 dan 2150) dan Ahmad
(4/108-109) dengan sanad Hasan]
Dan Imam Tirmidzi (no. 1131) meriwayatkan juga hadits ini dari jalan yang lain dengan
ringkas hanya pada bagian pertama saja dengan lafadz, “Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia menyiramkan air (mani)nya ke anak
orang lain (ke anak yang sedang dikandung oleh perempuan yang hamil oleh orang
lain)”.
Madzhab yang kedua ini lebih kuat dari madzhab yang pertama dan lebih mendekati
kebenaran. Wallahu a’lam.
Adapun masalah nasab anak dia dinasabkan kepada ibunya tidak kepada lakilaki
yang menzinai dan menghamili ibunya dan tidak juga kepada laki-laki
yang menikahi ibunya setelah ibunya melahirkannya. Atau dengan kata lain dan
tegasnya anak yang lahir itu adalah anak zina!
Bacalah dua masalah di kejadian yang ke lima ini di kitab-kitab.
[1]. Al-Mughni Ibnu Qudamah Juz 9 hal. 561 s/d 565 tahqiq Doktor Abdullah bn Abdul
Muhsin At-Turkiy.
[2]. Al-Majmu Syarah Muhadzdzab Juz 15 hal. 30-31
[3]. Al-Ankihatul Faasidah (hal. 255-256])
[4]. Fatawa Al-Islamiyyah Juz 2 halaman 353-354 dan 374-375 oleh Syaikh bin Baaz dan
Syaikh Utsaimin dan lain-lain.
1.7.6 Apabila terjadi akad nikah yang fasid (rusak) atau batil yaitu
setiap akad nikah yang telah diharamkan syara’ (agama) atau
hilang salah satu dari rukunnya sehingga akad nikah tersebut
tidak sah seperti :
• Nikah dengan mahram 18
• Nikah dengan ibu susu atau saudara sepersusuan
• Nikah dengan istri bapak atau istri anak atau mertua atau
dengan anak tiri
• Nikah mu’tah
• Nikah lebih dari empat orang istri
• Nikah dengan istri orang lain
• Nikah dengan perempuan yang sedang ‘iddah
• Nikah seorang muslim dengan wanita selain dari wanita ahlul
kitab (Yahudi dan Nashara)
• Nikah tanpa wali
• Nikah sir (rahasia) tanpa saksi
• Mengumpulkan dua orang bersaudara dalam satu
perkawinan
17 Harta fa-i harta yang didapat oleh kaum muslimin dari orang-orang kafir tanpa peperangan. Akan
tetapi imam kaum kuffar menyerah sebelum berperang atau mereka melarikan diri meninggalkan hartaharta
mereka
18 Mahram ialah setiap perempuan yang haram dinikahi seperti ibu, saudara, anak, bibi, dan lain-lain
• Mengumpulkan seorang perempuan dengan bibinya dalam
satu perkawinan
Dan lain-lain dari perkawinan yang rusak menurut agama. [Baca
Al-Ankihatul Faasidah]
Maka apabila keduanya tidak mengetahui fasid dan batilnya akad keduanya, maka
keduanya tidak berdosa dan tidak dikenakan hukuman dan anak dinasabkan kepada
bapaknya seperti pernikahan yang sah meskipun keduanya langsung dipisahkan karena
fasidnya akad keduanya. Dan disamakan dengan orang yang tidak mengetahui yaitu
orang yang mendapat fatwa tentang sahnya nikah yang fasid dan batil tersebut
sebagaimana banyak terjadi pada zaman kita sekarang ini khususnya mengenai nikah
mut’ahnya kaum Syi’ah rafidhah [Bacalah risalah kami tentang masalah ini dengan judul
Nikah Mut’ah = Zina]. Adapun apabila mereka telah mengetahui tentang fasid dan
batilnya akad nikah tersebut, maka tidak syak lagi tentang dosanya dan wajib bagi
mereka dikenakan hukuman kemudian anak tidak dinasabkan kepada bapaknya.
Masalah : Bagaimana hukumnya apabila yang mengetahui tentang haramnya
perkawinan tersebut hanya salah satu pihak, imam pihak laki-laki atau pihak
perempuan?.
Jawabanya : Maka hukumnya terkena kepada yang mengetahui tidak kepada
yang tidak mengetahui. Kalau yang mengetahui hukumnya itu pihak laki-laki,
maka dia berdosa dan dikenakan hukuman dan anak tidak dinasabkan
kepadanya. Kalau yang mengetahui hukumnya itu pihak perempuan, maka
dia yang berdosa dan dikenakan hukuman kepadanya dan anak tetap
dinasabkan kepada bapaknya (pihak laki-laki). Wallahu a’lam.
Sumber :
Buku Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir
Abdat, Penerbit Darul Qolam Jakarta, Cetakan I – Th 1423H/2002M; www.almanhaj.or.id
Daptar Bacaan
http://alhijrah.cidensw.net Powered by Joomla! Dibuat pada: 1 March, 2010, 11:40
2. http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/06/27/hukum-nikah-dalam-keadaan-hamil/
3. Buku Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir
Abdat, Penerbit Darul Qolam Jakarta, Cetakan I – Th 1423H/2002M; www.almanhaj.or.id
4.dan buku hukum perdata islam
dan Perkawunan wanita hamil
l. PEMBAHASAN
A. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah :
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.
B. Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama
Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan, ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan asal daerahnya.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
C. Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama
Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga semestinya pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat ditolak.
Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.
Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan pasangannya.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan hukum.
Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan antar agama. Maka MA berpendat bahwa tidak dapat dibenarkan terjadinya kekosongan hukum tersebut, sehingga perkawinan antar agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif, maka MA harus dapat menentukan status hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.
Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi, namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No. 1/1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56 UU No. 1/1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung.
Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya perkawinan antar agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan.
II Pembahasam
1.Perkawunan wanita hamil
Perkawunan wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah,kemudian di nikahi oleh pria yang menghamilinya. Olehkarena itu , masalah kawin dengan perempuan yang hamil di perlukan penelitian dan perhatian yang bijaksana terutama oleh pegawai pencatatan nikah.Hal itu di maksudkan agar tidak terjadi pernikahan pada waktu hamil dengan laki-laki yang bukan menghamilinya/bukan bapak biologis bakal anak.
1.1 Dan dalam buku Kompilasi Hukum Islam tentang pernikahanwanita hamil dikatakan sebagai sebagai berikut:
KOMPILASI HUKUM ISLAM *
BUKU I
HUKUM PERKAWINAN
BAB VIII
KAWIN HAMIL
Pasal 53
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dialngsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang
setelah anak yang dikandung lahir.
Pasal 54
(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga
boleh bertindak sebagai wali nikah.
(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram
perkawinannya tidak sah.
Dasar pertimbangan KHI terhadap perkawinan wanita hamil Adalah surah An-Nur (24) ayat 3 yang berbunyi:
Artunya:
3. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min [1029].
[1029]. Maksud ayat ini ialah: tidak pantas orang yang beriman
kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya.
1.2 Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam :
Satu : Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Dua : Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini Wal ‘iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.
Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas ‘iddah nya. Dan ‘iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”. (QS. Ath-Tholaq : 4).
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :
“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya”. (QS. Al-Baqarah : 235).
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini : “Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘iddah-nya”. Kemudian beliau berkata : “Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah”. (Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu’ 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma’ad 5/156.)
Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi diseputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah Al-’Alim Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut :
Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para ‘ulama.
1.3 Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama :
Satu : Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu ‘Ubaid.
Dua : Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 :
“Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan”. Tarjih diatas berdasarkan firman Allah ‘Azza Wa Jalla :
“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin”. (QS. An-Nur : 3).
Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata : “Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata : “Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wassallam lalu saya berkata : “Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq ?”.Martsad berkata : “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik”. Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata : “Jangan kamu nikahi dia”. (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya”. (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para ‘ulama yang mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat An-Nur ini bermakna jima’ atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115. Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Alamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.
Catatan :
Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat ini.
Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata : “Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur’an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina ?”.
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat :
1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber’azam (bertekad) dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahariterbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A’lam.
Syarat Kedua : Telah lepas ‘iddah.
Para ‘ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat :
Pertama : Wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua : Tidak wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaannantara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh nber-jima’ dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima’ sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
1.4 Tarjih
Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini :
1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos :
“Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali”. (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin ‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187).
2. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau bersabda :
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain”. (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137).
3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : “Barangkali orang itu ingin menggaulinya ?”. (Para sahabat) menjawab : “Benar”. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya”.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : “Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina”.
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A’lam.
Catatan :
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘Azza Wa Jalla :
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. Ath-Tholaq : 4).
Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya berpendapat : tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak.
Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Dan ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur’an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu :
“Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid)”. (QS. Al-Baqarah : 228).
1.5 Kesimpulan Pembahasan :
1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah sebagai berikut :
• Kalau ia hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
• Kalau ia belum hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.
Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma’ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.
2. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa ‘iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya : “Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa ‘iddah?”. Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat dikalangan para ‘ulama.
Jumhur (kebanyakan) ‘ulama berpendapat : “Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas ‘iddah-nya”.
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan hal tersebut. Dan pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi’iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas ‘iddah. Wal ‘Ilmu ‘Indallah. Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).
3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima’ maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut.
Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan.
Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya,dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali”. (HR. Syafi’iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, ‘Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no.698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa’id bin Manshur dalam sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 3/7, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu ‘Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840).
1.6 Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa ‘iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala :
“Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan” (QS. An-Nisa` : 4).
Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
“Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban”.(QS.An-Nisa` : 24)
Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A’lam.
Lihat : Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494, Al-Fatawa 32/198,200 dan Zadul Ma’ad 5/104-105.
1.7 HAMIL DI LUAR NIKAH DAN MASALAH NASAB ANAK ZINA
Dalam fasal ini ada beberapa kejadian yang masing-masing berbeda hukumnya, maka kami
berkata:
1.7.1. Apabila seorang perempuan [Gadis atau janda] berzina
kemudian hamil, maka anak yang dilahirkannya adalah anak
zina dengan kesepakatan para ulama, walaupun kemudian
perempuan tersebut dinikahi/tidak dinikahi oleh laki-laki yang
menzinainya.
• Nasab : Dinasabkan kepada ibunya [Misalnya Fulan bin Fulanah atau Fulanah binti
Fulanah], tidak dinasabkan kepada bapak zinanya.
• Hak Waris : Hak waris terputus dengan bapaknya, dia hanya mewarisi ibunya dan
ibunya mewarisinya.
• Hak Perwallian : Seorang anak perempuan dari hasil zina, terputus dengan
perwaliannya dengan bapaknya. Yang menjadi wali nikahnya ialah sultan
(penguasa) atau wakilnya seperti qadli (penghulu)1. Dan tidak wajib bagi bapaknya
memberi nafkah kepada anak yang lahir dari hasil zina2.
• Hubungan Mahram : Tidak terputus. Lebih luasnya lagi bacalah kitab-kitab dibawah
ini:
[1]. Al-Mughni Ibnu Qudamah (Juz 9 hal. 529-530 tahqiq Doktor Abdullah bin
Abdul Muhsin At-Turkiy)
[2]. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah (Jilid 32, hal. 134-152)
[3]. Majmu Syarah Muhadzdzab (Juz 15 hal. 109-113)
[4]. Al-Ankihatul Faasidah (Hal. 75-79 Abdurrahman bin Abdirrahman Sumailah Al-
Ahsal).
1.7.2. Apabila terjadi sumpah li’aan3 antara suami isteri.
• Nasab : Dinasabkan kepada ibunya. Dalam kasus li’aan ini anak dinasabkan kepada
isteri baik tuduhan suami itu benar atau bohong.
• Hak Waris : Hak waris terputus dengan bapaknya, dia hanya mewarisi ibunya dan
ibunya mewarisinya.
• Hak Perwalian : Terputus dengan perwaliannya dengan bapaknya. Yang menjadi
wali nikahnya ialah sultan (penguasa) atau wakilnya seperti qadli (penghulu). Dan
tidak wajib bagi bapaknya memberi nafkah [Fathul baari (no. 5315). Nailul Authar
Juz 7 hal.91 dan seterusnya]
1 Al-Muhalla Ibnu Hazm Juz 10 hal 323 masalah 2013. Al-Majmu Syarah Muhadzdzab Juz 15 hal. 112.
Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 34/100
2 Tidak wajib maknanya tidak berdosa kalau dia tidak memberi nafkah, akan tetapi tidak juga terlarang
baginya untuk memberi nafkah. Ini berbeda dengan anak dari pernikahan yang shahih, berdosa bagi
seorang bapak kalau dia tidak memberi nafkah kepada anak-anaknya
3 Suami menuduh isterinya berzina atau menafikan anak yang dikandung isterinya di muka
hakim sehingga dilaksanakan sumpah li’aan.
1.7.3. Apabila seorang isteri berzina –baik diketahui suaminya [Dan
suaminya tidak menuduh istrinya di muka hakim sehingga tidak
terjadi hukum li’aan] atau tidak- kemudian dia hamil
• Nasab : Dinasabkan kepada suaminya bukan kepada laki-laki yang menzinai dan
menghamilinya berdasarkan sabda Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur dan bagi yang
berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut)” 4
• Hak Waris : Hak waris tidak terputus dengan bapaknya [suami yang istrinya
berzina].
• Hak Perwallian : Tidan terputus dengan perwaliannya dengan bapaknya [suami
yang istrinya berzina]
• Hubungan Mahram : Tidak terputus.
Sedangkan pada kasus di atas tidak terjadi sumpah li’aan meskipun suami mengetahui
bahwa isterinya telah berzina dengan laki-laki lain. Ini disebabkan suami tidak
melaporkan tuduhannya ke muka hakim sehingga tidak dapat dilaksanakan sumpah
li’aan. 5
1.7.4 Apabila seorang perempuan berzina kemudian hamil, bolehkah
ia dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya dan kepada siapa
dinasabkan anaknya?
Boleh dia dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya dan menghamilinya
dengan kesepakatan (ijma) para ahli fatwa sebagaimana ditegaskan oleh Imam
Ibnu Abdil Bar yang dinukil oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Fathul Baari (Juz 9 hal.
157 di bagian kitab nikah bab 24 hadits 5105) 6. Untuk lebih jelasnya lagi marilah kita
ikuti fatwa para ulama satu persatu dari para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan seterusnya :
• Fatwa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Berkata Ibnu Umar : Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq sedang berada di masjid
tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu Abu Bakar berkata kepada Umar,
“Berdirilah dan perhatikanlah urusannya karena sesungguhnya dia
mempunyai urusan (penting)” Lalu Umar berdiri menghampirinya,
kemudian laki-laki itu menerangkan urusannya kepada Umar,
“Sesungguhnya aku kedatangan seorang tamu, lalu dia berzina dengan
anak perempuanku!?” Lalu Umar memukul dada orang tersebut dan
berkata, “Semoga Allah memburukkanmu! Tidakkah engkau tutup saja
(rahasia zina) atas anak perempuan itu!” Kemudian Abu Bakar
memerintahkan agar dilaksanakan hukum had (didera sebanyak seratus
kali) terhadap keduanya (laki-laki dan perempuan yang berzina).
Kemudian beliau menikahkan keduanya lalu beliau memerintahkan agar
keduanya diasingkan selama satu tahun. [Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hazm
4 Hadits shahih riwayat Bukhari no. 6749 dan Muslim no. 4/171 dari jalan Aisyah dalam hadits yang
panjang. Dan Bukhari no. 6750, dan 6818 dan Muslim 4/171 juga mengeluarkan dari jalan Abu Hurairah
dengan ringkas seperti lafadz di atas
5 Apabila seorang istri berzina atau suami berzina maka nikah keduanya tidak batal (fasakh) menurut
umumnya ahli ilmu (Al-Mughni Juz 9 hal. 565)
6 Baca juga Kitaabul Kaafi fi Fiqhi Ahlil Madinah (Juz 2 hal.542) oleh Imam Ibnu Abdil bar. Tafsir Fathul
Qadir (1/446 tafsir surat An-Nisaa ayat 23) oleh Imam Asy-Syaukani
di kitabnya Al-Muhalla juz 9 hal. 476 dan Imam Baihaqiy di kitabnya Sunanul Kubro
juz 8 hal. 223 dari jalan Ibnu Umar) 7
• Fatwa Umar bin Khaththab
Fatwa Abu Bakar di atas sekaligus menjadi fatwa Umar bahkan fatwa para
shahabat. Ini disebabkan bahwa fatwa dan keputusan Abu Bakar terjadi di hadapan
para shahabat [Al-Muhalla Juz 9 hal 476] atau diketahui oleh mereka khususnya
Umar. Dan semua para shahabat diam menyetujuinya dan tidak ada seorang pun di
antara mereka yang mengingkari fatwa tersebut. Semua ini menunjukkan telah
terjadi ijma di antara para shahabat bahwa perempuan yang berzina kemudian
hamil boleh bahkan harus dinikahkan dengan laki-laki yang menzinainya dan
menghamilinya. Oleh karena itu kita melihat para shahabat berfatwa seperti di atas
di antaranya Umar bin Khaththab ketika beliau menjadi khalifah sebagaimana
riwayat di bawah ini.
Berkata Abu Yazid Al-Makkiy, “Bahwasanya ada seorang laki-laki nikah
dengan seorang perempuan. Dan perempuan itu mempunyai seorang
anak gadis yang bukan (anak kandung) dari laki-laki (yang baru nikah
dengannya) dan laki-laki itupun mempunyai seorang anak laki-laki yang
bukan (anak kandung) dari perempuan tersebut (yakni masing-masing
membawa seorang anak, yang laki-laki membawa anak laki-laki dan yang
perempuan membawa anak gadis). Lalu pemuda dan anak gadis tersebut
melakukan zina sehingga nampaklah pada diri gadis itu kehamilan. Maka
tatkala Umar datang ke Makkah diangkatlah kejadian itu kepada beliau.
Lalu Umar bertanya kepada keduanya dan keduanya mengakui (telah
berbuat zina). Kemudian Umar memerintahkan mendera keduanya
(dilaksanakan hukum had) 8. Dan Umar sangat ingin mengumpulkan di
antara keduanya (dalam satu perkawinan) akan tetapi anak muda itu
tidak mau” [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/155) dengan sanad yang shahih]
• Fatwa Abdullah bin Mas’ud
Dari Hammam bin Harits bin Qais bin Amr An-Nakha’i Al-Kufiy, “Dari Hammaam
bin Harits bin Qais bin Amr An-Nakha’i Al-Kufiy dari Abdullah bin Mas’ud
tentang, “Seorang anak laki-laki yang berzina dengan seorang
perempuan kemudian laki-laki itu hendak menikahi perempuan
tersebut?” Jawab Ibnu Mas’ud, “Tidak mengapa yang demikian itu”
[Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156) secara mu’allaq dengan sanad yang
shahih]
Dari Al-Qamah bin Qais (ia berkata) : Sesungguhnya telah datang seorang
laki-laki kepada Ibnu Mas’ud, lalu laki-laki itu bertanya, “Seorang lakilaki
berzina dengan seorang perempuan kemudian keduanya bertaubat
dan berbuat kebaikan, apakah boleh laki-laki itu kawin dengan
perempuan tersebut? “ Kemudian Ibnu Mas’ud membaca ayat ini,
“Kemudian sesungguhnya Rabb-mu kepada orang-orang yang
mengerjakan kejahatan dengan kebodohan9, kemudian sesudah itu
mereka bertaubat dan mereka berbuat kebaikan, sesungguhnya Rabb-mu
sesudah itu Maha Pengampun (dan) Maha Penyayang” [An-Nahl : 119]
Berkata Al-Qamah bin Qais, “Kemudian Ibnu Mas’ud mengulang-ulang ayat
7 Baihaqiy meriwayatkan dari jalan yang lain bahwa perempuan tersebut hamil (9/476) lihat juga
Mushannaf Abdurrazzaq (12796)
8 Diriwayatkan Imam Abdurrazzaq (Mushannaf Abdurrazzaq (7/203-204 no. 12793) bahwa Umar
mengundurkan hukuman kepada anak gadis tersebut sampai dia melahirkan
9 Kebodohan disini maksudnya perbuatan maksiat yang dilakukan dengan sengaja. Karena setiap orang
yang maksiat kepada Allah dikatakan jahil (tafsir Ibnu Katsir 2/590)
tersebut berkali-kali sampai orang yang bertanya itu yakin bahwa Ibnu
Mas’ud telah memberikan keringanan dalam masalah ini (yakni beliau
membolehkannya)”. [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156). Kemudian Imam
Baihaqiy (7/156) juga meriwayatkan dari jalan yang lain yang semakna dengna
riwayat di atas akan tetapi di riwayat ini Ibnu Mas’ud membaca ayat): 10 “Dan
Dialah (Allah) yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan
memaafkan dari kesalahan-kesalahan (mereka) dan Dia mengetahui apaapa
yang kamu kerjakan” [Asy-Syura : 25] [Lihat riwayat yang semakna di
Mushannaf Abdurrazzaq (7/205 no. 12798)]
Dalam sebagian riwayat ini terdapat tambahan : Setelah Ibnu Mas’ud membaca
ayat di atas beliau berkata, “Hendaklah menikahinya!”.
• Fatwa Ibnu Umar.
Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan
seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu Umar,
“Jika keduanya bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal
shalih)” [Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hazm di Al-Muhalla juz 9 hal. 475.
• Fatwa Jabir bin Abdullah
Berkata Jabir bin Abdullah, “Apabila keduanya bertaubat dan keduanya
berbuat kebaikan, maka tidak mengapa (tidak salah dilangsungkan
pernikahan di antara keduanya) –yakni tentang laki-laki yang berzina
dengan seorang perempuan kemudian dia ingin menikahinya-“
[Dikeluarkan oleh Ibnu Hazm (9/475), dikeluarkan juga oleh Imam Abdurrazzaq
(7/202) yang semakna dengan riwayat di atas]
• Fatwa Ibnu Abbas
Berkata Ubaidullah bin Abi Yazid , “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas
tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan
bolehkah dia menikahinya ?” Jawab beliau, “Ya”, karena (nikah itu)
perbuatan halal” [Dikeluarkan oleh Baihaqiy (7/155) dengan sanad yang shahih]
[Al-Mushannaf Abdurrazaq (7/203)]
Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas : Tentang seorang laki-laki yang berzina
dengan seorang perempuan kemudian sesudah itu dia menikahinya ?
Beliau berkata, “Yang pertama itu zina sedangkan yang terakhir nikah
dan yang pertama itu haram sedangkan yang terakhir halal” [Dikeluarkan
Baihaqiy (7/155) 11 Dan dalam riwayat yang lain juga dari jalan Ikrimah ada
tambahan, “Tidak salah (yakni menikahinya)]
Berkata Said bin Jubair : Ibnu Abbas pernah ditanya tentang seorang lakilaki
dan seorang perempuan yang masing-masing dari keduanya telah
menyentuh yang lain dengan cara yang haram (yakni keduanya telah
berzina), kemudian nyatalah (kehamilan) bagi perempuan tersebut lalu
laki-laki itu menikahinya? Jawab Ibnu Abbas : “Yang pertama itu zina
sedangkan yang kedua nikah” [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (3/267 dengan
sanad yang hasan)]
Berkata Atha bin Abi Rabah : Berkata Ibnu Abbas tentang laki-laki yang
berzina dengan seorang perempuan, kemudian dia menikahinya, “Yang
10 Imma kejadian ini satu kali dan masing-masing rawi membawakan satu ayat dari dua ayat yang
dibaca Ibnu Mas’ud atau kejadian di atas dua kali. Wallahu a’lam
11 Mushannaf Abdurrazzaq (7/202) maksud perkataan Ibnu Abbas di riwayat 1 s/d 4 ialah bahwa zina
itu haram sedangkan nikah itu halal, maka zina yang haram itu tidak bisa mengharamkan nikah yang
memang halal. Karena sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan sesuatu yang halal
pertama dari urusannya itu adalah zina, sedangkan yang terakhir nikah”
[Dikeluarkan Abdul Razzaq 7/202]
Dari Thawus, ia berkata : Diriwayatkan kepada Ibnu Abbas, “Seorang lakilaki
menyentuh perempuan dengan cara yang haram (yakni zina),
kemudian dia menikahinya?” Jawab beliau, “itu baik –atau beliau
mengatakannya- itu lebih bagus” [Dikeluarkan Abdurrazzaq 7/203]
Demikian juga fatwa para Tabi’in seperti Said bin Musayyab, Said bin Jubair, Az-
Zuhri dan Hasan Al-Bashri dan lain-lain Ulama. [Baihaqiy 7/155 dan Abdurrazzaq
7/203-207]
Dari keterangan-keterangan di atas kita mengetahui:
a. Telah terjadi ijma Ulama yang didahului oleh ijmanya para shahabat tentang
masalah bolehnya perempuan yang berzina kemudian hamil dinikahi oleh laki-laki
yang menzinai dan menghamilinya.
b. Mereka pun memberikan syarat agar keduanya bertaubat dan berbuat kebaikan
(beramal shalih) dengan menyesal dan membenci perbuatan keduanya.
Adapun mengenai hukuman bagi yang berzina (hukum had) yang melaksanakannya
adalah pemerintah bukan orang perorang atau kelompok perkelompok. Oleh karena di
negeri kita ini sebagaimana negeri-negeri Islam yang lainnya kecuali Saudi Arabia tidak
dilaksanakan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti hukum had dan lain-lain,
ini tidak menghalangi taubatnya orang yang mau bertaubat demikian juga nikahnya dua
orang yang berzina. Cukuplah bagi keduanya bertaubat dan beramal shalih.
Langsungkanlah pernikahan karena yang demikian itu sangat bagus sekali sebagaimana
dikatakan Ibnu Abbas. Bahkan laki-laki yang menzinai dan menghamili seorang
perempuan lebih berhak terhadap perempuan tersebut sebelum orang lain
[Abdurrazzaq (7/206-207)] dengan syarat keduanya mau dan ridha untuk
nikah. Apabila salah satunya tidak mau maka janganlah dipaksa hatta
perempuan tersebut telah hamil [Bacalah kembali riwayat Umar bin
Khaththab]. Ini, kemudian pertanyaan yang kedua kepada siapakah anak
tersebut dinasabkan?
Jawabnya :
Anak tersebut dinasabkan kepada ibunya bukan kepada laki-laki yang
menzinai dan menghamili ibunya (bapak zinanya) walaupun akhirnya lakilaki
itu menikahi ibunya dengan sah. Dan di dalam kasus seperti ini –di mana
perempuan yang berzina itu kemudian hamil lalu dinikahi laki-laki yang
menzinai dan menghamilinya- tidak dapat dimasukkan ke dalam keumuman
hadits yang lalu yaitu : “Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat
tidur (suami yang sah) dan bagi yang berrzina tidak mempunyai hal apapun
(atas anak tersebut)”. Ini disebabkan karena laki-laki itu menikahi
perempuan yang dia zinai dan dia hamili setelah perempuan itu hamil bukan
sebelumnya, meskipun demikian laki-laki itu tetap dikatakan sebagai bapak
dari anak itu apabila dilihat bahwa anak tersebut tercipta dengan sebab air
maninya akan tetapi dari hasil zina. Karena hasil zina inilah maka anak
tersebut dikatakan sebagai anak zina yang bapaknya tidak mempunyai hak
apapun atasnya dari hal nasab, waris, dan kewalian dan nafkah sesuai
dengan zhahirnya bagian akhir dari hadits diatas yaitu : “…. Dan bagi (orang)
yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut)”.
Berbeda dengan anak yang lahir dari hasil pernikahan yang sah, maka nasabnya kepada
bapaknya demikian juga tentang hukum waris, wali dan nafkah tidak terputus sama
sekali. Karena agama yang mulia ini hanya menghubungkan anak dengan bapaknya
apabila anak itu lahir dari pernikahan yang sah atau lebih jelasnya lagi perempuan itu
hamil dari pernikahan yang sah bukan dari zina. Wallahu a’lam 12
Sebagian orang di negeri kita ini ada yang mengatakan : Tidak boleh
perempuan yang hamil lantaran zina itu dinikahi hatta oleh laki-laki yang
menzinai atau menghamilinya sampai perempuan itu melahirkan berdasarkan
keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan perempuan-perempuan
yang hamil itu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan” [Ath-Thalaq : 4]
Kami jawab ; Cara pengambilan dalil seperti di atas sama sekali tidak tepat
dalam menempatkan keumuman ayat dan cenderung kepada pemaksaan
dalil.
Pertama : Ayat di atas untuk perempuan yang hamil dari hasil nikah bukan
untuk perempuan-perempuan yang hamil dari hasil zina. Karena di dalam
nikah itu terdapat thalaq, nafkah, tempat tinggal, ‘iddah, nasab, waris dan
kewalian. Sedangkan di dalam zina tidak ada semuanya itu termasuk tidak
adanya ‘iddah. Inilah perbedaan yang mendasar antara pernikahan dengan
perzinaan. Ayat di atas tetap di dalam keumumannya terhadap perempuan-perempuan
yang hamil yang dithalaq suaminya maka ‘iddahnya sampai dia melahirkan sesuai
keumuman ayat di atas meskipun ayat yang lain (Al-Baqarah : 234) menegaskan bahwa
perempuan-perempuan yang kematian suaminya ‘iddahnya empat bulan sepuluh hari.
Akan tetapi perempuan tersebut ketika suaminya wafat dalam keadaan hamil maka
keumuman ayat di ataslah yang dipakai. Atau ayat di atas tetap di dalam keumumannya
oleh sebagian ulama terhadap perempuan yang berzina lalu hamil kemudian dinikahi
oleh laki-laki yang bukan menghamilinya sebagaimana akan datang keterangannya di
kejadian kelima. Wallahu a’lam.
Kedua : Telah terjadi ijma’ Shahabat bersama para ulama tentang bolehnya
bagi seorang laki-laki menikahi perempuan yang dia hamili lantaran zina.
Bacalah kembali keterangan-keterangan kami di muka mengiringi apa yang telah
dikatakan oleh Imam Ibnu Abdil Bar bahwa dalam hal ini telah terjadi ijma’ ulama. Dan
anehnya tidak ada seorang pun di antara mereka yang berdalil dengan ayat di atas
untuk melarang atau mengharamkannya kecuali setelah perempuan itu melahirkan
anaknya ?
Apakah kita mau mengatakan bahwa kita lebih pintar cara berdalilnya dari para
Shahabat dan seterusnya?
5. Apabila seorang perempuan berzina kemudian dia hamil, maka
bolehkan dia dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya?
Dan kepada siapakah dinasabkan anaknya?
Madzhab Syafi’I dan Hanafi : Boleh dan halal dinikahi dengan alasan bahwa
perempuan tersebut hamil karena zina bukan dari hasil nikah. Abu Hanifah
mensyaratkan tidak boleh disetubuhi sampai perempuan tersebut
melahirkan. Sebagaimana kita ketahui bahwa syara’ (agama) tidak menganggap sama
sekali anak yang lahir dari hasil zina seperti terputusnya nasab dan lain-lain
sebagaimana beberapa kali kami jelaskan di muka. Oleh karena itu halal baginya
menikahinya dan menyetubuhinya tanpa harus menunggu perempuan tersebut
melahirkan anaknya.
Madzhab Hambali dan Maliki : Haram dinikahi sampai perempuan tersebut melahirkan,
12 Fatawa Islamiyyah (Juz 2 hal.353 dan 354, 374-375). Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
(32/134-142). Al-Mughni Ibnu Qudamah (Juz 9 hal.529-530). Al-Muhalla (Juz 10 hal.323) Fathul Baari
(Syarah hadits no. 6749). Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nisaa ayat 23. Dan lain-lain
beralasan kepada beberapa hadits :
Hadits Pertama.
“Dari Abu Darda dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau
pernah melewati seorang perempuan [Perempuan ini adalah seorang
tawanan perang yang tertawan dalam keadaan hamil tua] yang sedang hamil
tua sudah dekat waktu melahirkan di muka pintu sebuah kemah. Lalu beliau
bersabda, “Barangkali dia13 (yakni laki-laki yang memiliki tawanan14
tersebut) mau menyetubuhinya!?”. Jawab mereka, “Ya”. Maka bersabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku berkeinginan
untuk melaknatnya dengan satu laknat yang akan masuk bersamanya ke
dalam kuburnya15 bagaimana dia mewarisinya padahal dia tidak halal
baginya, bagaimana dia menjadikannya sebagai budak padahal dia tidak halal
baginya!?” 16 [Hadits Shahih riwayat Muslim 4/161]
Hadits Kedua
“Dari Abu Said Al-khudriy dan dia memarfu’kannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tawanantawanan
perang Authaas [Authaas adalah satu tempat di Thaif], “Janganlah
disetubuhi perempuan yang hamil sampai dia melahirkan dan yang tidak
hamil sampai satu kali haid” [Hadits riwayat Abu Dawud (no.2157), Ahmad (3/28,
62, 87) dan Ad-Darimi (2/171)]
Hadits Ketiga
“Dari Ruwaifi Al-Anshariy –ia berdiri di hadapan kita berkhotbah-, ia berkata : Adapaun
sesungguhnya aku tidak mengatakan kepada kamu kecuali apa-apa yang aku
dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada hari Hunain,
beliau bersabda, “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan
hari akhir untuk menyiramkan air (mani)nya ke tanaman [Ke rahim orang lain
yang telah membuahkan anak] orang lain –yakni menyetubuhi perempuan
hamil- [Penjelasan ini imma dari Ruwaifi atau dari yang selainnya] Dan tidak
halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
menyetubuhi perempuan dari tawanan perang sampai perempuan itu bersih.
Dan tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
mejual harta rampasan perang sampai dibagikan. Dan barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia menaiki kendaraan
13 Disini ada lafadz yang hilang yang takdirnya beliau bertanya tentang perempuan tersebut dan
dijawab bahwa perempuan tersebut adalah tawanan si Fulan
14 Hadits yang mulia ini salah satu dalil dari sekian banyak dalil tentang halalnya menyetubuhi tawanan
perang meskipun tidak dinikahi. Karena dengan menjadi tawanan dia menjadi milik orang yang
menawannya atau milik orang yang diberi bagian dari hasil ghanimah (rampasan perang) meskipun dia
masih menjadi istri orang (baca ; orang kafir). Maka dengan menjadi tawanan fasakhlah (putuslah)
nikahnya dengan suaminya. (Baca Syarah Muslim Juz 10. hal.34-36)
15 Hadits yang mulia ini pun menjadi dalil tentang haramnya menyetubuhi tawanan perang yang hamil
sampai selesai iddahnya yaitu sampai ia melahirkan dan yang tidak hamil ber’iddah satu kali haid
sebagaimana ditunjuki oleh hadits yang kedua insya Allah.
Berdasarkan hadits yang mulia ini madzhab yang kedua mengeluarkan hukum tentang haramnya
menikahi dan menyetubuhi perempuan yang hamil oleh orang lain sampai ia melahirkan.
16 Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bagaimana dia mewarisinya … dan seterusnya”, yakni
bagaimana mungkin laki-laki itu mewarisi anak yang dikandung oleh perempuan tersebut padahal anak
itu bukan anaknya. Dan bagaimana mungkin dia menjadikan anaknya itu sebagai budaknya padahal
anak itu bukan anaknya. Wallahu a’lam.
dari harta fa’i17 kaum muslimin sehingga apabila binatang tersebut telah
lemah ia baru mengembalikannya. Dan barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir maka janganlah ia memakai pakaian dari harta fa’i kaum
muslimin sehingga apabila pakaian tersebut telah rusak ia baru
megembalikannya” [Dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 2158 dan 2150) dan Ahmad
(4/108-109) dengan sanad Hasan]
Dan Imam Tirmidzi (no. 1131) meriwayatkan juga hadits ini dari jalan yang lain dengan
ringkas hanya pada bagian pertama saja dengan lafadz, “Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia menyiramkan air (mani)nya ke anak
orang lain (ke anak yang sedang dikandung oleh perempuan yang hamil oleh orang
lain)”.
Madzhab yang kedua ini lebih kuat dari madzhab yang pertama dan lebih mendekati
kebenaran. Wallahu a’lam.
Adapun masalah nasab anak dia dinasabkan kepada ibunya tidak kepada lakilaki
yang menzinai dan menghamili ibunya dan tidak juga kepada laki-laki
yang menikahi ibunya setelah ibunya melahirkannya. Atau dengan kata lain dan
tegasnya anak yang lahir itu adalah anak zina!
Bacalah dua masalah di kejadian yang ke lima ini di kitab-kitab.
[1]. Al-Mughni Ibnu Qudamah Juz 9 hal. 561 s/d 565 tahqiq Doktor Abdullah bn Abdul
Muhsin At-Turkiy.
[2]. Al-Majmu Syarah Muhadzdzab Juz 15 hal. 30-31
[3]. Al-Ankihatul Faasidah (hal. 255-256])
[4]. Fatawa Al-Islamiyyah Juz 2 halaman 353-354 dan 374-375 oleh Syaikh bin Baaz dan
Syaikh Utsaimin dan lain-lain.
1.7.6 Apabila terjadi akad nikah yang fasid (rusak) atau batil yaitu
setiap akad nikah yang telah diharamkan syara’ (agama) atau
hilang salah satu dari rukunnya sehingga akad nikah tersebut
tidak sah seperti :
• Nikah dengan mahram 18
• Nikah dengan ibu susu atau saudara sepersusuan
• Nikah dengan istri bapak atau istri anak atau mertua atau
dengan anak tiri
• Nikah mu’tah
• Nikah lebih dari empat orang istri
• Nikah dengan istri orang lain
• Nikah dengan perempuan yang sedang ‘iddah
• Nikah seorang muslim dengan wanita selain dari wanita ahlul
kitab (Yahudi dan Nashara)
• Nikah tanpa wali
• Nikah sir (rahasia) tanpa saksi
• Mengumpulkan dua orang bersaudara dalam satu
perkawinan
17 Harta fa-i harta yang didapat oleh kaum muslimin dari orang-orang kafir tanpa peperangan. Akan
tetapi imam kaum kuffar menyerah sebelum berperang atau mereka melarikan diri meninggalkan hartaharta
mereka
18 Mahram ialah setiap perempuan yang haram dinikahi seperti ibu, saudara, anak, bibi, dan lain-lain
• Mengumpulkan seorang perempuan dengan bibinya dalam
satu perkawinan
Dan lain-lain dari perkawinan yang rusak menurut agama. [Baca
Al-Ankihatul Faasidah]
Maka apabila keduanya tidak mengetahui fasid dan batilnya akad keduanya, maka
keduanya tidak berdosa dan tidak dikenakan hukuman dan anak dinasabkan kepada
bapaknya seperti pernikahan yang sah meskipun keduanya langsung dipisahkan karena
fasidnya akad keduanya. Dan disamakan dengan orang yang tidak mengetahui yaitu
orang yang mendapat fatwa tentang sahnya nikah yang fasid dan batil tersebut
sebagaimana banyak terjadi pada zaman kita sekarang ini khususnya mengenai nikah
mut’ahnya kaum Syi’ah rafidhah [Bacalah risalah kami tentang masalah ini dengan judul
Nikah Mut’ah = Zina]. Adapun apabila mereka telah mengetahui tentang fasid dan
batilnya akad nikah tersebut, maka tidak syak lagi tentang dosanya dan wajib bagi
mereka dikenakan hukuman kemudian anak tidak dinasabkan kepada bapaknya.
Masalah : Bagaimana hukumnya apabila yang mengetahui tentang haramnya
perkawinan tersebut hanya salah satu pihak, imam pihak laki-laki atau pihak
perempuan?.
Jawabanya : Maka hukumnya terkena kepada yang mengetahui tidak kepada
yang tidak mengetahui. Kalau yang mengetahui hukumnya itu pihak laki-laki,
maka dia berdosa dan dikenakan hukuman dan anak tidak dinasabkan
kepadanya. Kalau yang mengetahui hukumnya itu pihak perempuan, maka
dia yang berdosa dan dikenakan hukuman kepadanya dan anak tetap
dinasabkan kepada bapaknya (pihak laki-laki). Wallahu a’lam.
Sumber :
Buku Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir
Abdat, Penerbit Darul Qolam Jakarta, Cetakan I – Th 1423H/2002M; www.almanhaj.or.id
Daptar Bacaan
http://alhijrah.cidensw.net Powered by Joomla! Dibuat pada: 1 March, 2010, 11:40
2. http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/06/27/hukum-nikah-dalam-keadaan-hamil/
3. Buku Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir
Abdat, Penerbit Darul Qolam Jakarta, Cetakan I – Th 1423H/2002M; www.almanhaj.or.id
4.dan buku hukum perdata islam
Langganan:
Postingan (Atom)
SMS Onlain Geratis
Syarat dan Kondisi menurut SMS ONLAIN GERATIS(http://sms-online.web.id)
* Dilarang keras mengirim sms penipuan, asusila, atau segala bentuk aktifitas yang bertentangan dengan hukum positif di Indonesia.
* Isi sms adalah diluar tanggung jawab penyelenggara sms-online.web.id
* Penyelenggara sms-online.web.id tidak menjamin bahwa sms pasti sampai ke tujuan, namun status pengiriman dapat dilihat sendiri pada halaman INBOX & STATUS.
* Penyelenggara sms-online.web.id berhak menghapus sms anda agar tidak terkirim tanpa harus menjelaskan alasannya.